Oleh
Prof Hilman Hadikusuma S.H.
I.
UMPU ASAL
Keadaan
masyarakat Lampung yang terbagi dalam Masyarakat
Adat Saibatin yang
berdialek Api dan Masyarakat Adat Pepadun yang
berdialek Nyow. Pada uraian ini akan kami coba menguraikan
persekutuan hukum adat mengenai Umpu Asal, Ulun Lampung, Murgou Abung Trio
Diso, Abung Siwo Migou, dan Marga-Marga Abung Teritorial.
Uraian
tentang Lampung dimasa sebelum perang dunia ke-dua, banyak kita dapati didalam
beberapa laporan pemerintahan, berkas hukum adat, bahkan ada yang menulis
buku-buku khusus tentang Lampung, misalnya yang ditulis oleh Dr.R.Broersma “De Lampongsche Districten” (1916),
Dr.J,W.Van Royen “Nota Over de
Lampongesche Merga’s”, Hissink “Het
Pepadonwezen”, Mr.H.Guyt, “Hoodlijnen
van het huwelijks recht in de lampongs” (1937),dan yang khusus tentang Abung
dimasa sebelum perang dunia ke-dua ialah P.J.Vet “Het Landschap Aboeng En De Op Sumatra”,dan setelah perang dunia ke-dua
ialah F.W.Funkie “Orang Abung, Volkstum Sud
Sumatra im Wandel”, Leiden (1958).
Dapat dikatakan tidak ada orang Lampung yang menyatakan
bahwa ia berasal dari bekas kerajaan Tulang Bawang yang dilukiskan Krom
(Prof.Dr.N.J.Krom,”Zaman Hindu”,
terj.Arif Effendi, Cet.ke-2, Pembangunan Djakarta, Hal.48) yang pernah ada di Lampung
sekitar abad ke-tujuh. Tetapi kebanyakan dari orang-orang tua kalau ditanya
menyatakan bahwa Poyang mereka berasal dari
Sekala Be’rak, Daerah mana sekarang terletak di daerah Kecamatan Balik Bukit
Liwa Kabupaten Lampung Utara (sebelum menjadi Kabupaten Lampung Barat). Dari
nama-nama tempat yang hingga sekarang masih disebut-sebut seperti “Puncak” di daerah Ex Marga Kembahang, “Bulan” di Canggiring, dapatlah
diperkirakan kebenaran dari cerita-cerita rakyat tentang kampung asal orang Lampung
di zaman purba terletak di sekitar dataran tinggi Sekala
Bekhak dilereng Gunung Pesagi.
Menurut cerita rakyat
bahwa perkampungan orang Lampung yang pertama di Sekala Bekhak diperkirakan
setidak-tidaknya sudah ada pada abad 14 yang penduduknya disebut “Orang Tumi” yang menganut kepercayaan
Animisme Hindu Bhairawa, pimpinan mereka adalah seorang wanita yang disebut Ratu
Sekarmong yang terikat perkumpulan memuja benda sakti “Belasa Kepampang” yaitu sebangsa pohon nangka dengan
sebagian daun dan buahnya mengandung racun dan sebagian tawar. Kelompok Tumi
ini kemudian dapat dipengaruhi oleh Umpu Belunguh yang menyebarkan Islam di Sekala Bekhak, pada era ini berdirilah Paksi Pak Sekala Bekhak yaitu Paksi Buway Bejalan Di Way , Paksi Buway Nyerupa, Paksi Buway Pernong dan Paksi Buway Belunguh, dengan Anak Mentuha Buway Benyata dan Nabbainya yaitu Buway Bulan.
Cerita lain mengatakan
(Oesman sjarief,1972) bahwa di Sekala Bekhak itu dahulu pada mulanya ada dua
orang Poyang, yaitu Makdum Ngemula Jadi dan Makdum
Ngemula Sakti. Salah satu dari Poyang ini
menurunkan “Raina Raini” yang
kemudian menurunkan Poyang Bernama Indar
Gajah, Pak Lang, Sikin, Belunguh dan Indarwati.
Poyang asal ini pun dikatakan berasal dari
Pagaruyung berdasarkan uraian kitab “Kuntara
Raja Niti” (Pegangan Raja Mengatur).
Apabila kedua cerita
diatas kami hubungkan maka akan tergambar umpu-umpu asal sebagai berikut:
No
|
Nama Puyang
|
Gelar/Sebutan
|
Kedudukan di Sekala Bekhak
|
Puyang Kebuwayan
|
1
|
Indar
Gajah
|
Umpu Bejalan Di Way
|
Puncak Dalom
|
Abung
|
2
|
Pak Lang
|
Umpu
Pernong
|
Henibung
|
Pubiyan
|
3
|
Sikin
|
Umpu
Nyerupa
|
Tampak Siring
|
Jelma Daya
|
4
|
Belunguh
|
Umpu Belunguh
|
Barnasi
|
Peminggir
|
5
|
Indarwati
|
Putri
Bulan
|
Way Nekhima
|
Tulang
Bawang
|
Jika kita ikuti uraian
Oesman Sjarief maka Indarwati adalah cikal bakal keturunan orang Rejang
Bengkulu, dalam hal ini saya belum sependapat sebaiknya diadakan penelitian
lebih dahulu. Oleh karena kalau dilihat dari sejarah Pagaruyung, dimana Kuntara
Raja Niti sendiri mengatakan bahwa Poyang-Poyang itu berasal dari Pagaruyung,
maka menurut hemat kami bukanlah orang-orang Rejang yang berpoyang pada
Indarwati [nama yang masih diragukan] tetapi sebaliknya Umpu-Umpu itu sebagian
berasal dari Pagaruyung dan sebagian
dari Dharmacraya yang pernah menetap
di Rejang mengerjakan tambang emas bersama Datuk
Parpatih Nan Sebatang dari Laras
Bodi Chaniago
Pagaruyung (lihat A.Dt.Batuah-A.Dt.Madjoindo,
Tambo Minangkabau, Balai Pustaka, Djakarta,1956,hal.41).
Untuk sementara Indarwati kami samakan dengan Putri Bulan yang kemudian menjadi cikal
bakal keturunan Ex Marga Buway Bulan yang antara lain terdapat di daerah Megou
Pak Tulang Bawang. Menurut cerita rakyat dikatakan bahwa putri bulan karena
satu dan lain hal menyerahkan tanah kedudukannya di Cenggiring kepada Umpu Pernong,
kemudian ia beserta sebagian kerabatnya pergi menuju arah matahari terbit, Tulang
Bawang, daerah mana pada sekitar abad ke 15 merupakan pasar perdagangan lada
yang banyak didatangi pedagang-pedagang asing dari luar negeri.
Cerita lain menyatakan
bahwa pernah terjadi pertengkaran antara kerabat Pubian yang dipimpin oleh
Rakian ayah Sibrani dan cucu dari Naga berisang dengan kerabat Abung di Kaoer
Bengkulu, akibat pertentangan ini maka kerabat Abung meninggalkan Kaoer dan
pindah ke tepi Way selabung yang mengalir dari Danau Ranau dam bermuara di
Muaradua Komering Ulu. Di Kaoer dikatakan masih ada batu-batu bekas tempat kediaman
kerabat Abung, demikian diuraikan Van Royen (Dr.J.W. Van Royen, Nota Over De Lampoengsche Merga’s Hoofdstruk
I, Paragraf 1).
Lain pula apa yang
dicatat oleh Broersma (Dr.R.Broersma, De
Lampoengsche Districten, 1916, hal.17), ia mengatakan bahwa Du Bois (bekas Residen Lampung yang pertama tahun 1834 pernah
menemukan sebuah buku yang berjudul “Sadjarah Madjapahit”), didalam buku itu
dikatakan bahwa tuhan telah menurunkan orang pertama ke muka bumi yaitu Sang Dewa Senembahan dan Widodari Simoehoen, kedua dewa inilah
yang menurunkan Si-Djawa Ratu Madjapahit,
Si-Pasoendayang Ratu Padjadjaran dan
Si-Lampong Ratu Balau.
Lampong artinya “OP
HET WATER DRIJVEND” (BEJALAN
DI WAY =
BERJALAN DI ATAS AIR), salah satu dari keturunan Si-Lampong adalah PANGERAN
KEMBAHANG yang kemudian menetap dengan kerabatnya di Sekala Bekhak di lereng Gunung Pesagi. Dari kerabat asal ini kemudian terjadi
perpisahan kerabat, dimana sebagian pindah ke Muaradua, setelah itu pindah lagi
menuju arah selatan melalui Sungai Umpu menuju arah Bumi Agung, yang sebagian
lagi dibawah pimpinan Minak Pemuka Bagindo menuju arah bukit Dempo (Di selatan
Padang Ratu), kemudian dari sini berpencar lagi
dari Tjango ke daerah Abung sekarang.
II.
ULUN ABUNG
Kami berpendapat bahwa
yang disebut Ulun Abung (Orang Abung) adalah semua orang Lampung
yang menarik cikal bakal keturunannya dari Ratu
Di Puncak yang asal usulnya bukan dari langit, dan bukan pula dari Pagaruyung tetapi berasal dari Dharmacraya. Ya, suatu
Kerajaan Melayu (pecahan Sriwijaya) daerah penghasil lada
yang kemudian pecah karena serangan Singosari pada tahun 1275. Sifat dan watak
yang keras dalam mempertahankan adat istiadat leluhur menyebabkan mereka
kemudian meninggalkan Sekala Bekhak untuk tidak lebih banyak dipengaruhi ajaran
Islam dari orang-orang asal Pagaruyung yang menanamkan pengaruhnya di
Sekala Be’rak disekitar Abad 13.
Penghulu kerabat Abung
ini suka merantau menyusuri sungai-sungai oleh karenanya ia disebut UMPU
BEJALAN DIWAY. Sebagian dari
kerabat ini pernah menetap di Way Selabung Muaradua, oleh karenanya oleh orang
luar mereka disebut Orang Abung (Orang
dari Selabung) dan orang Lampung sendiri menyebut ULUN ABUNG. Dari selabung
kemudian mereka pindah ke Komering Ulu dan membuka daerah di Martapura sekarang, dibawah pimpinan MINAK
RIO BAGINDO, pada akhir abad 14.
Besar kemungkinan
sebagai akibat kerusuhan yang terjadi di Palembang yang dilakukan oleh kepala
rampok cina Hok Kian Cencu Yi pada
tahun 1405 (Prof. Dr. Slamet Muljono, “Runtuhnya
keradjaaan Hindu Djawa dan timbulnya
Negara-Negara Islam di nusantara”, Bhratara Djakarta 1968,hlm.70) maka
kerabat Abung ini menyingkir kearah Bukit Barisan dan mendirikan
perkampungannya yang pertama di CANGUK GATCAK (CAHYA NEGERI) sebagai
pusat kependudukan baru bagi kekuasaan persekutuan kerabat Keratuan Dipuncak
dibawah pimpinan MINAK PEMUKA BAGINDA.
Dengan berkembangnya pusat kedudukan Punyimbang (anak tertua lelaki) Kebuwayan Umpu Bejalan Di Way ini maka semua anggota kerabat mereka,
antara lain yang telah membuka teratak bersama-sama orang Pubian disekitar
Bukit Dempo (di selatan hulu Way Seputih Padang Ratu dan Way Pubian) kesemuanya
berkumpul di Canguk.
Dilihat dari
perlengkapan adat Pepadun yang mereka pakai maka sisa zaman Hindu Dharmacraya
yang mereka warisi dan banggakan ialah SESAKA dan KAYU HAKHA/ARO dan (sandaran duduk bagi Ratu). Kemudian
dikarenakan hubungan kerabat ini dengan kekuasaan Islam Cina Palembang dibawah
pimpinan Laksamana Ceng Ho (lihat Slamet Muljono,op.cit.hlm.89) sebagai pengakuan atas
kedudukan Minak Pemuka Bagindo sebagai pemimpin sukunya, ialah didapatnya Payung Kuning yang dizaman itu biasa
diberikan Kaisar Islam Yung Lo kepada
para utusan negara-negara Asia Tenggara yang datang di negeri Cina secara
bersahabat. Kedudukan Payung Kuning ini menurut hukum adat Pepadun dikemudian
hari adalah tanda kebesaran Punyimbang Pepadun Tiyuh atau Kepunyimbangan Bumi.
Dimasa kekuasaan
pemerintahan Minak Pemuka Bagindo sifat-sifat Ulun Lampung yang suka menjelajah
sepanjang sungai (Bejalan Di Way)
sudah agak berkurang, sebagian besar dari kerabat ini sudah memusatkan diri
berkumpul dalam bentuk teratak perkampungan, dengan sistem pencaharian membuka
pertanian peladangan liar ditepi-tepi sungai, terutama di Way Rarem dan Way Abung.
Sistem pertanian
peladangan liar yang memburu hutan menimbulkan pengakuan hak Ulayat Kerabat
(Murgou) Abung, tindakan penguasaan tanah ini seringkali berakibat timbulnya
perselisihan mengenai penguasaan tanah diantara kerabat Abung sendiri, antara
kerabat Abung dan kerabat-kerabat Kebuwayan
Lampung yang lain, antara lain dari Keratuan Pemanggilan dan Keratuan Balau.
Perpecahan diantara
mereka merugikan kehidupan mereka sendiri, apalagi pada masa itu daerah
pedalaman Lampung seringkali dimasuki Bajau
(perampok) dari laut Jawa untuk melakukan perampasan hasil bumi seperti lada
dan hasil hutan lainnya, baik dipeladangan maupun diperkampungan mereka. Untuk
mengatasi kelemahan ini maka mereka Punyimbang-Punyimbang Kebuwayan bersatu mufakat menetapkan bahwa
penguasaan tanah di daerah Lampung hanya terdiri dari Empat besar, yaitu:
1. Ratu Di Puncak menguasai tanah hak Ulayat Abung di Way Abung, Way Rarem dan Way Seputih.
2. Ratu Pemanggilan menguasai tanah hak Ulayat Pemanggilan di Pesisir Krui, Pesisir Semaka, Muara Dua dan Martapura.
3. Ratu Di Balau menguasai
tanah hak Ulayat Pubiyan di bagian Selatan Way Sekampung, Teluk Betung dan
Bandar Lampung,
4. Ratu Di
Pugung menguasai tanah hak
Ulayat Bandar Pugung didaerah Pugung, Jabung, Maringgai dan Sekampung Ilir.
Pengaruh hak Ulayat
Murgou Abung pada masa itu meliputi sebagian besar daerah Lampung Utara,
termasuk Way Kanan sampai Way Lempuing dan Way Tulang Bawang. Anggapan pengaruh hak Ulayat Keratuan Di Puncak
ini didasarkan kewibawaan magis religious dari Minak Pemuka Bagindo selaku
Marga Raja yang diutamakan sebagai orang pertama diantara yang sama (Primus Interpareh) diantara semua orang Lampung
yang menganggap ada hubungan kerabat dengan Ratu Di Puncak baik karena
keturunan langsung, maupun karena Mewari (Adopsi) ataupun Perkawinan.
Pedoman dasar dalam
melaksanakan pemerintahan kerabat yang dikemudian hari merupakan kepribadian
atau Filsafah hidup orang Lampung pada umumnya, adalah sebagaimana digariskan
zaman Ratu Di Puncak yang disebut Pi’il
Pesenggiri, dalam untaian kata-kata sebagai berikut:
Tandani Ulun Lampung Wat Piil-Pusanggikhi
Mulia Heno Sehitung Wat Liom Khega Diri
Juluq-Adoq Kham Pegung, Nemui-Nyimah Muakhi
Nengah-Nyampokh Mak Ngungkung,
Sakai-Sambayan Gawi
Tando nou ulun lappung, wat pi’iil pesenggiri,
Mulia Heno Sehitung Wat Liom Khega Diri
Juluq-Adoq Kham Pegung, Nemui-Nyimah Muakhi
Nengah-Nyampokh Mak Ngungkung,
Sakai-Sambayan Gawi
Tando nou ulun lappung, wat pi’iil pesenggiri,
You
balak pi’iil, ngemik maluw, ngigou diri,
Ulah
nou liyuw you bejuluk you be-adek,
Iling
mewariy ngejuk ngakuk nemui nyimbah,
Ulah
nou pandai you nengah you nyappur,
Ngubali
jejamou, begawiy balak, sakai sambaian.
.'' ada benar nya..namun,banyak salah nya..
BalasHapus