Selasa, 19 November 2013

[[SUKU LAMPUNG]] RUMAH ADAT LAMPUNG [LAMBANG KESATUAN ENTITAS DAN KLAN ULUN LAMPUNG]


Oleh Diandra Natakembahang





Rumah adat Lampung secara umum berbentuk panggung dan terdiri dari bagian bagian ruangan tertentu yang mempunyai sebutan dan fungsi tersendiri. Pada bagian belakang rumah biasanya terdapat bangunan yang disebut Balai, yaitu sebuah bangunan lumbung tempat penyimpanan padi. Dalam Bahasa Lampung dialek Api, rumah adat Lampung disebut dengan Lamban, Anjung dan juga Mahan, sementara dalam Bahasa Lampung dialek Nyow,  rumah adat Lampung disebut dengan Nuwo. Bentuk, arsitektur, istilah, peruntukan juga bagian rumah adat Lampung secara umum berbeda antara masyarakat adat Lampung yang menganut sistem Kesaibatinan yang berdialek Api dengan masyarakat adat Lampung penganut sistem Kepenyimbangan yang sebagian besar berdialek Nyow.

Dalam masyarakat adat Lampung Saibatin, tempat kediaman bagi Saibatin Paksi/ Buway/ Marga disebut dengan Lamban Gedung atau Gedung Dalom, yang juga merupakan pusat pemerintahan adat Lampung dan lambang legitimasi adat dalam sistem Kesaibatinan.  Sementara Klan dibawah Paksi/ Buway/ Marga merupakan Komunitas adat yang memiliki suatu lamban atau pusat dari klan yang merupakan lambang kesatuan yang dipimpin oleh Raja Kappung Batin dan atau Raja Jukuan. Lamban ini memiliki nama atau sebutan tertentu seperti  Lamban Bandung, Lamban Keratun, Lamban Gemuttukh Agung, Lamban Gajah Minga, Lamban Margasana, Lamban Kagungan dan Lamban Bandar. Beberapa klan yang tergabung dalam Kappung Batin merupakan Tebelayakh atau bagian dari penyokong eksistensi Saibatin Paksi/ Buway/ Marga. Sementara komunitas lain yang berada diluar Kappung Batin adalah merupakan Jamma [Warga] dari Saibatin Paksi/ Buway/ Marga yang juga tergabung dalam komunitas Lamban tertentu yang disebut dengan Jukuan dan dipimpin oleh Raja Jukuan.



Rumah adat tradisional Lampung yang dihuni oleh entitas Lampung yang beradat Saibatin disebut dengan Lamban atau Lamban Balak. Secara umum bagian bagian rumahnya terdiri dari beberapa bagian seperti Jan yang merupakan tangga masuk kerumah panggung, kemudian Lepau atau Bekhanda yaitu ruang terbuka pada bagian atas depan rumah, lalu dilengkapi dengan Lapang Luakh sebagai ruang tamu dan tempat bagi musyawarah adat atau Himpun, selanjutnya Lapang Lom sebagai ruang keluarga yang juga difungsikan sebagai tempat saat Himpun dan Bedu’a. Bilik Kebik adalah kamar utama yang diperuntukkan bagi sang empunya rumah dan Tebelayakh sebutan untuk kamar kedua. Sekhudu adalah ruangan bagian belakang yang diperuntukkan bagi ibu ibu, sementara Panggakh adalah bagian loteng rumah panggung yang biasanya dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan barang barang dan piranti untuk keperluan adat, barang pecah belah, juga sebagai tempat penyimpanan senjata dan benda benda pusaka. Dapokh [dapur] ada pada bagian belakang atas rumah panggung yang juga terdapat Sekelak yaitu suatu bagian ruangan tempat memasak, dan yang paling belakang adalah Gakhang, merupakan tempat untuk mencuci perabotan dapur. Bagian bawah rumah panggung disebut dengan Bah Lamban, biasanya difungsikan sebagai tempat penyimpanan hasil panen. Rumah tradisional Lampung dahulunya beratapkan ijuk, berlantaikan khesi atau bambu dan atau papan, dan terbuat dari kayu seperti klutum, bekhatteh dan belasa. 



Bagi entitas Lampung yang beradat Pepadun atau yang menganut Sistem Kepenyimbangan, rumah adatnya dikenal dengan sebutan Nuwo, ada dua jenis rumah adat yaitu Nuwo Balak dan Nuwo Sesat. Nuwo Balak aslinya merupakan rumah tinggal bagi para Kepala Adat atau Penyimbang yang dalam bahasa Lampung juga disebut Balai Keratun. Bangunan ini terdiri dari beberapa bagian seperti Lawang Kuri yaitu gapura masuk, Pusiban sebagai tempat tamu melapor. Selanjutnya Ijan Geladak adalah tangga naik ke rumah,  Anjung anjung  merupakan serambi depan tempat menerima tamu, Serambi Tengah adalah tempat duduk anggota kerabat pria, Lapang Agung tempat kerabat wanita berkumpul. Kebik Temen atau Kebik Kerumpu merupakan kamar tidur bagi anak Penyimbang Bumi atau anak tertua, Kebik Rangek merupakan kamar tidur bagi anak Penyimbang Ratu atau anak kedua, Kebik Tengah yaitu kamar tidur untuk anak Penyimbang Batin atau anak ketiga.

Bangunan lain adalah Nuwo Sesat pada dasarnya merupakan balai pertemuan adat tempat para Perwatin pada saat mengadakan Pepung atau musyawarah adat, karenanya itu juga disebut sebagai Sesat Balai Agung. Bagian bagian dari bangunan ini adalah Ijan Geladak, tangga masuk yang dilengkapi dengan atap yang disebut Rurung Agung. Selanjutnya adalah Anjungan, yaitu serambi yang digunakan untuk pertemuan kecil, lalu Pusiban sebagai ruang tempat musyawarah resmi. Ruang Tetabuhan merupakan tempat menyimpan alat musik tradisional dan Ruang Gajah Merem sebagai tempat istirahat bagi para Penyimbang. Hal lain yang khas di rumah sesat ini adalah hiasan paying payung besar di atapnya [Rurung Agung] yang berwarna putih, kuning, dan merah yang melambangkan tingkat Kepenyimbangan bagi masyarakat adat Lampung Pepadun.



Sabtu, 16 November 2013

[[SUKU LAMPUNG]] KESAIBATINAN DAN KEPENYIMBANGAN [KOMPARASI PEMERINTAHAN ADAT LAMPUNG]



Oleh : Diandra Natakembahang



 I.  Sejarah Pemerintahan Adat Lampung

Menilik pemerintahan adat Lampung tentunya tidak dapat dilepaskan dari sejarah terbentuknya komunitas dari etnis Lampung itu sendiri. Identifikasi dari sejarah awal Ulun Lampung ini setidaknya dapat dilihat dari empat poin, yaitu analisa dari sejarawan dan para ahli purbakala, artefak dan peninggalan purbakala, manuskrip, peninggalan tertulis dan wakhahan, dan yang terakhir adalah produk dari kebudayaan itu sendiri. Berdasarkan tafsiran para sejarawan dan ahli purbakala seperti Prof. Groeneveldt menyebutkan bahwa entitas awal Ulun Lampung sudah ada setidaknya sejak abad ke 4 M di dataran tinggi Sekala Bekhak dilereng gunung Pesagi. Prof. Groeneveldt mendokumentasikan tulisannya berdasarkan catatan Cina kuna yang secara lebih spesifik dijabarkan oleh Prof. WangGungwu dalam Journal of Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, kedua sejarawan ini juga merujuk kronik Cina pada era dinasti Liang. Beberapa peneliti, ahli purbakala dan juga sejarawan yang bergiat pada sejarah Lampung ini diantaranya adalah William Marsdn resident Inggris yang berkedudukan di Bengkulu, Van Royen seorang linguist dan pakar bahasa Lampung, L.C.Westernenk seorang sarjana berkebangsaanJerman,  Prof.Oliver W. Wolters dari Universitas Cornell, Lawrence Palmer Briggs seorang peneliti asal Amerika Serikat dan Hellfich, mereka mengidentifikasi awal peradaban Ulun Lampung dari dataran tinggi Sekala Bekhak dilereng Gunung Pesagi.

Identifikasi yang kedua adalah artefak dan peninggalan purbakala. Di Lampung banyak terdapat peninggalan situs purbakala dan arkeologi yang tersebar dibanyak tempat seperti prasasti Ulu Belu dan Batu Bedil di Semaka Tanggamus, peninggalan purbakala Pugung Raharjo di Seputih Lampung Timur, prasasti Palas Pasemah di Lampung Selatan, situs purbakala Pura Wiwitan di Sumber Jaya, situs Batu Kepappang di Kenali, situs Batu Bekhak diSumber Jaya, situs Tanjung Raya di Sukau dan prasasti Hujung Langit atau Hara Kuning di Bawang Liwa, lima situs terakhir berada di Sekala Bekhak Lampung Barat. Demikianlah beberapa peninggalan purbakala yang ada di Lampung, belum lagi banyak terdapat prasasti atau batu bertulis yang bertebaran di lereng Pesagi yang belum atau tidak teridentifikasi dengan baik. Namun demikian Raja pertama di Lampung yang terekam dalam prasasti adalah Punku Aji Ywarajya Sri Haridewa yang terpahat dalam prasasti Hujung Langit pada abad ke 9 M [Prof. LouisCharles Damais; Epigrafi danSejarah Nusantara], ini berarti bahwa pemerintahan adat yang terstruktur di Lampung telah berjalan pada masa ini. Beberapa artefak yang menjadi bagian dari entitas peradaban Lampung adalah Gamolan yang telah menyertai kegiatan seremonial pada prosesi pemerintahan adat Lampung termasuk saat Nettah Adoq dan Cakak Pepadun. Namun demikian artefak purbakala yang paling terkait dengan sistem pemerintahan adat Lampung dan menjadi ikon bagi kekuasaan adat di Lampung adalah Pepadun. Artefak dan peninggalan peninggalan purbakala ini menjadi bukti bagi perkembangan entitas dan pemerintahan adat Lampung. 

Identifikasi yang ketiga adalah dari manuskrip dan peninggalan tertulis, juga sastra lisan Wakhahan. Beberapa manuskrip dan peninggalan tertulis di Lampung atau yang terkait dengan Lampung seyogyanya dapatlah menjelaskan entitas Ulun Lampung juga pemerintahan adat di Lampung. Manuskrip purbakala di Lampung termasuk Tambo pada masanya ditatahkan di tanduk kerbau, kulit kayu, bambu, tongkat dan dalung atau kuningan. Selain dari sumber intern di Lampung, beberapa manuskrip juga menyebutkan keadaan Lampung dalam catatannya seperti dalam catatan dankronik Cina pada era dinasti Liang dan catatan I’ Tsing seorang pendeta Buddhist yang melawat ke Sekala Bekhak yang saat itu masih beragama Buddha, ia menjuluki warganegeri Sekala Bekhak sebagai To Langphawang. Dalam diale kHokkian yang dipertuturkan I Tsing, ia mengidentifikasi entitas awal UlunLampung ini sebagai To Langphawang yang berarti Orang Atas, ini karena warganegeri Sekala Bekhak memang tinggal didataran tertinggi di Lampung dilereng Gunung Pesagi. Manuskrip lain yang juga menggambarkan tentang keadaan Lampung dan atau terkait dengan Lampung pada era kuna adalah Babad Pakuon/Babad Pajajaran, Tambo Alam Minangkabau dan Negara Kertagama. Selain menyebutkan tentang Lampung, Babad Pajajaran dan Negara Kertagama malahan juga menyebutkan alat musik tunggal/ xylophone yang disinyalir sebagai Gamolan Lampung yang belum merupakan seperangkat alat musik atau orkestrasi seperti pada Gamelan Jawa/ Karawitan.

Identifikasi tentang sejarah etnisitas Ulun Lampung juga bisa didapat dari sastra lisan Lampung berupa Wakhahan dan Segata sepertimana disebutkan dalam sebuah sajak dalam dialek Komering Minanga "Adat lembaga sai ti pakaisa buasal jak Belasa Kapampang, Sajaman rik Tanoh Pagaruyung pemerintah Bunda Kandung, Cakak di Gunung Pesagi rogoh di Sekala Bokhak, Sangon kok turun temurun jak ninik puyang paija, Cambai urai tiusung dilom adat pusaka". Disebutkan jugadalam sebuah Wawancan “Asal jak Lemasa Kepampang anak umpu Puyang Mena Tepik, Cakak di Gunung Pesagi khaggah di Sekala Bekhak, Nukhunkon khuwa muwakhi Umpu Sidenting jama Umpu Pernong, Sai ngiwakkon Pepadun sai ngiwakkon Saibatin”. Namun demikian gambaran tentang era dan periodeisasi pemerintahan adat Lampung dapatlah kita ketahui dari manuskrip Ulun Lampung seperti kitab Kuntara Raja Niti juga Tambo Paksi Pak Sekala Bekhak [Paksi Buway Bejalan Di Way, Paksi Buway Nyerupa, Paksi Buway Pernong, Paksi Buway Belunguh] dan Buway Benyata [Buway Anak Mentuha]. Had Lampung sendiri diciptakan oleh para Saibatin diSekala Bekhak pada sekitar abad ke 9 M [Darwis H.A; Riwayat Kerajaan Sekala Bekhak], pada era inilah mulai ditatahkan riwayat, silsilah, hikayat juga kodifikasi hukum adat dalam media media seperti tanduk kerbau, bambu, dalung/ kuningan, tongkat dan  kulit kayu.

BerdasarkanTambo Paksi Pak Sekala Bekhak [Tambo Paksi Buway Bejalan Di Way dan Tambo Buway Benyata] menggambarkan bahwa Sekala Bekhak pada era sebelum pemerintahan Puyang Rakian yang merupakan Raja kelima pada silsilah Buway Bejalan Di Way adalah merupakan era Keratuan Hindu Buddha. Dapatlah dikatakan bahwa agama resmi yang dianut oleh warganegeri Sekala Bekhak pada era sebelum Puyang Rakian adalah agama Buddha dengan sebagian kecil Hindu Animis yang mengagungkan pohon Belasa Kepampang sebagaimana dapat diketahui dari Tambo juga peninggalan peninggalan purbakala pada era ini. Pada era ini masyarakat Sekala Bekhak melakukan peribadatan di Mesigit yang dalam era Islam namanya diadopsi menjadi nama rumah ibadah umat Islam [Darwis H.A.], mengingat bahwa agama Buddha dan Hindu Animis adalah agama resmi pada masa ini maka otomatis pemerintahan pada masa ini dipengaruhi oleh kedua agama ini dan merupakan era Keratuan Hindu Buddha.

Islam mulai masuk Lampung lewat Sekala Bekhak saat kedatangan La Laula [SyechAminullah Ibrahim] bersama anak anak dan pengikutnya untuk mensyiarkan Islam pada medio abad ke 8 M [Tambo Buway Benyata], namun demikian Islam belum menjadi agama resmi pada masa ini. Perpindahan dari Sekala Bekhak telah terjadi sejak era Keratuan Hindu Buddha, seperti perpindahan kerabat Komering dari Jurai Puyang Jayanaga dan kerabat Abung dari Jurai Ratu Di Puncak. Perpindahan beberapa klan dari Sekala Bekhak setidaknya dimulai dari abad ke 7 hingga 15 M, seperti dari Jurai Puyang Jayanaga yang dikemudian hari mendirikan Kedatuan Sriwijaya di Minanga Komering setelah perpindahannya dari Ranau Sekala Bekhak [Lawrence Palmer Briggs; The Origin of Syailendra Dinasty]. Setelah persebaran para Puyang beserta klannya dari Sekala Bekhak telah menempati seantero Tanoh Lampung, para Puyang berkumpul di Cangok Gaccak, Cahya Negeri wilayah Lampung Utara saat ini. Permufakatan ini dimaksudkan untuk mengatur wilayah dan zonaisasi Tanoh Lampung menjadi empat besar, hal ini dimaksudkan sebagai pengaturan wilayah juga untuk bersatu dalam mengantisipasi serangan para bajau dan perompak yang sudah memasuki daerah pedalaman Lampung. Para Puyang ini membagi wilayah Lampung kedalam empat besar [Hilman Hadikusuma; Adat dan Budaya Lampung]:
  1. Wilayah Keratuan Di Puncak, tanah hak Ulayat Abung di Way Abung, Way Rarem dan Way Seputih.
  2. Wilayah Keratuan Pemanggilan, tanah hak Ulayat Pemanggilan di Pesisir Krui, Pesisir Semaka, Muara Dua danMartapura.
  3. Wilayah Keratuan Di Balau, tanah hak Ulayat Pubiyan dibagian Selatan Way Sekampung, Teluk Betung dan Bandar Lampung,
  4. Wilayah Keratuan Di  Pugung, tanah hak Ulayat Bandar Pugung didaerah Pugung, Jabung, Maringgai dan Sekampung Ilir.
Identifikasi yang keempat dalam menelisik sistem pemerintahan adat Lampung adalah dari produk kebudayaan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari rule of law [tata titi adat Lampung], norma dan nilai nilai,seni dan tradisi, dan yang terakhir karya cipta kebendaan. Pepadun pertama diLampung yang merupakan lambang eksistensi pemerintahan adat Lampung tercipta dari Belasa Kepampang yang dibuatoleh perserikatan Paksi Pak. Terbentuknya perserikatan Paksi Pak di Sekala Bekhak adalah saat kedatangan Umpu Belunguh pada sekitar abad ke 10 M yangmenggenapkan syiar Islam di Sekala Bekhak, yaitu pada era Puyang Raja Paksi silsilah keenam dari Buway Bejalan Di Way. Perserikatan Paksi Pak akhirnya memerangi Ratu Sekerummong atau Ranji Pasai yang dianggap menghalangi syiar Islam di Sekala Bekhak dan juga menebang pohon Belasa Kepampang yang diagungkan oleh suku Tumi yang dipimpin oleh Ratu Sekerummong [Tambo Paksi Pak Sekala Bekhak]. Pada era ini mulai diatur pembagian penguasaan wilayah adat dengan berpatokan pada aliran sungai atau way sehingga dikenal istilah Buway yaitu kekuasaan adat berdasarkan sungai sungai yang mengaliri suatu wilayah adat. Istilah Buway akhirnya menjadi suatu penamaan wilayah territorial dan genealogis dari sebuahklan atau kelompok adat di Lampung. Pada era ini pula mulai dikenal istilah Paksi yang berarti Buway yang memiliki wewenang untuk memerintah dan merupakan penghulu dalam pemerintahan adat Lampung. Era setelah kedatangan Umpu Belunguh dan terbentuknya perserikatan Paksi Pak menandai dimulainya era Kepaksian Islam dengan Islam sebagai agama resminya.



II.       Pemerintahan Lampung Adat Saibatin [Kesaibatinan]

Pemerintahan Adat Lampung pada awalnya lebih bersifat Autokrasi dan dipimpin oleh seorang Saibatin yang berarti satu pemimpin atau seorang penguasa. Dalam sistem pemerintahan adat Lampung dikenal berjenjang berdasarkan hirarki seseorang didalam adat, hirarki seseorang didalam adat juga menentukan Petutokhan atau panggilan kekeluargaan/panggilan kekerabatan seseorang. Ada tiga pilar yang menyokong sistem pemerintahan adat Lampung yaitu Saibatin  yang merupakan pemimpin adat tertinggi, Penyimbang yang merupakan perwakilan dari Saibatin dan Himpun atau musyawarah adat. Hirarki Adat dalam Struktur Pemerintahan Lampung Adat Saibatin ialah berdasarkan Adoq atau Gelar seseorang didalam Adat,  masing masing adalah:
  1. Suttan/Pangiran/Dalom
  2. Raja/Depati
  3. Batin
  4. Radin
  5. Minak
  6. Kimas
  7. Mas/Itton
Struktur pemerintahan pada Masyarakat Adat Lampung adalah Sistem Pemerintahan Jurai berdasarkan Kekerabatan dan bukan Sistem Pemerintahan Wangsa ala Raja dan Kawula seperti di Jawa. Struktur pemerintahan adat pada Masyarakat Adat Lampung Saibatin dilaksanakan dengan Struktur Pemerintahan Kekerabatan sebagai berikut:
  1. Institusi Pemerintahan Adat yangtertinggi adalah Paksi/Buway/Marga yang merupakan himpunan dari Suku/Jukku. Institusi ini dipimpin oleh Anak Pria Tertua dari keturunan yang tertua diantara mereka. Beliau ini memiliki Adoq Suttan/Pangiran/Dalom. Tutokh [Panggilan Adat/Panggilan Kekeluargaan] kepada beliau adalah Bapak Dalom [Pak Dalom].
  2. Institusi Suku/Jukku adalah himpunan dari Sumbai. Institusi ini dipimpin oleh Anak Pria Tertua dari keturunan yang tertua diantara mereka. Beliau ini memiliki Adoq Raja/Depati. Tutokh kepada beliau adalah Bapak Batin [Pak Batin]
  3. Institusi Sumbai adalah himpunan dari Kepu/Kebu. Institusi ini dipimpin oleh Anak Pria Tertua dari keturunan yang tertua diantara mereka. Beliau ini memiliki Adoq Batin. Tutokh kepada beliau adalah Bapak Balak [Pak Balak] dan atau Tuan Tengah [Wan Ngah].
  4. Institusi Kepu/Kebu adalah himpunan dari beberapa Lamban. Institusi ini dipimpin oleh Anak Pria Tertua dari keturunan yang tertua diantara mereka.Beliau ini memiliki Adoq Radin.Tutokh kepada beliau adalah Bapak Tengah [PakNgah] dan atau Bapak Tuha [Pak Tuha].
  5. Institusi Adat yang paling bawah disebut Lamban. Institusi ini dipimpin oleh seseorang yang disebut Khagah [Khagah ni Lamban]. Beliau ini memiliki Adoq Minak, Kimas, Mas/Itton. Tutokh kepada beliau adalah Bapak Lunik [Pak Lunik] dan atau Bapak Cik [Pak Cik].
Dengan demikian seseorang yang memiliki adoq Suttan/Pangiran/Dalom salah satu syaratnya adalah dia telah memiliki Jamma [Bawahan/Warga/Anak Buah] setidaknya empat orang yang beradoq Raja. Demikian juga seorang yang memiliki adoq Raja/Depati syaratnya adalah dia telah memiliki Jamma setidaknya empat orang yang beradoq Batin. Seseorang yang memiliki adoq Batin syaratnya adalah dia telah memiliki Jamma setidaknya empat  orang yang bergelar Radin. Seseorang yangmemiliki adoq Radin  syaratnya adalah diatelah memiliki Jamma setidaknya empat orang yang beradoq Minak, Kimas dan Mas/Itton. Sementara masing masing Minak, Kimas dan Mas/Itton memimpin institusi keluarga atau lamban. Petutokhan atau Panggilan Kekerabatan disesuaikan dengan tingkatan hirarki seseorang didalamAdat, beberapa Petutokhan  mungkin agak berbeda disetiap Buwaynya.

Demikianlah tidak ada sebuah Institusi yang kosong yang tidak mempunya warga, bila belum cukup warganya [Jamma] maka tingkat Institusi tersebut belum didirikan. Bagi mereka yang belum cukup syarat untuk mendirikan sebuah Institusi Adat maka mereka bisa bernaung [Kilu Akkon] dibawah sebuah Institusi yang sudah eksis, cara ini disebut Nuppang Bindom. Mereka yang statusnya Nuppang Bindom sama hak dan kewajibannya dengan Masyarakat Adat yang lain. Apabila mereka menginginkan dan sudah memenuhi syarat untuk membentuk Institusi sendiri maka mereka keluar dari Institusi tempat mereka Nuppang Bindom tadi dan mendirikan Institusinya sendiri yang baru. Nuppang Bindom ini sering dilakukan oleh masyarakat pendatang yaitu masyarakat dari luar klan mereka yang ikut membuat rumah dan atau bertempat tinggal di Pekon tersebut [Fauzi Fattah; Kekerabatan Adat Lampung Sekala Bekhak].

Kesempatan untuk mewariskan dan atau menaikkan kedudukan seseorang di dalam adat dilaksanakan saat Tayuhan/Nayuh dalam sebuah prosesi pernikahan. Pewarisan Hirarki Adat dan pemberian adoq padaMasyarakat Adat Lampung Saibatin disebut dengan istilah Saibatin Lulus Kawai yang bermakna bahwa kedudukan seseorang didalam Adat diwariskan dari garis lurus keturunan tertua dalam Institusi Adat. Pengumuman untuk Pewarisan Hirarki Adat dan pemberian Adoq ini dilaksanakan saat Tayuhan dengan prosesi Nettah Adoq/Butettah yang diiringi dengan Canang[gong kecil]. Prosesi pemberian Adoq ini dihadiri oleh Saibatin Suttan atau Penyimbang yang ditunjuk oleh Saibatin beserta para Pembesar lainnya. Kedudukan seseorang dalam Hirarki Masyarakat Adat Lampung Saibatin ditentukan oleh Asal, Akhlak dan banyaknya Jamma [warga/anak buah] seseorang dalam lingkungan adat. Sedangkan untuk penobatan dan penetahan adoq Saibatin Paksi Pak di Sekala Bekhak dilaksanakan dengan Cakak Pepadun dari Pepadun Belasa Kepampang yang digunakan khusus hanya untuk para Saibatin Paksi Pak [Suttan/Pangiran/Dalom] secara bergiliran pada setiap Paksinya disaat prosesi penobatan Saibatin Paksi.

Demikianlah bahwa pada dasarnya Pemerintahan Adat Saibatin lebih bersifat Autokrasi, namun demikian disetiap konfederasi adat memiliki kekhasan dan spesifikasi tersendiri yang tentunya disesuaikan dengan lingkungan adat dan tata titi keadatan masing masing. Konfederasi Masyarakat Adat Lampung yang menerapkan sistem Kesaibatinan masing masing adalah:

Paksi Pak Sekala Bekhak;
  • Paksi Buway Bejalan Di Way
  • Paksi Buway Nyerupa
  • Paksi Buway Pernong
  • Paksi Buway Belunguh
Marga Telu Ranau;
  • Marga Warkuk
  • Marga Batang Ribu
  • Marga Banding Agung
Pitu Kepuhyangan Komering;
  • Kepuhyangan Semendaway
  • Kepuhyangan Maluway
  • Kepuhyangan Minanga
  • Kepuhyangan Madang
  • Kepuhyangan Pemuka
  • Kepuhyangan Mahanggin
  • Kepuhyangan Bunga Mayang
Marga Enom Belas Krui;
  • Marga La’ai
  • Marga Bandar
  • Marga Pedada
  • Marga Ngaras
  • Marga Ngambur
  • Marga Tenumbang
  • Marga Bengkunat
  • Marga Belimbing
  • Marga Ulu Krui
  • Marga Pasar Krui
  • Marga Way Sindi
  • Marga Way Napal
  • Marga Pugung Penengahan
  • Marga Pugung Tampak
  • Marga Pugung Malaya
  • Marga Pulau Pisang
Bandar Enom Semaka;
  • Marga Pematang Sawa
  • Marga Negara Batin
  • Marga Gunung Alip
  • Marga Benawang
  • Marga Belunguh
  • Marga Ngarip
Bandar Lima Way Lima;
  • Marga Putih
  • Marga Badak
  • Marga Limau
  • Marga Pertiwi
  • Marga Kelumbaian
Bandar Lima Way Handak Darah Putih;
  • Marga Ratu
  • Marga Legun
  • Marga Ketibung
  • Marga Rajabasa
  • Marga Dantaran
Melinting Tiyuh Pitu;
  • Tiyuh Wana
  • Tiyuh Tebing
  • Tiyuh Nibung
  • Tiyuh Pempen
  • Tiyuh Maringgai
  • Tiyuh Ngeragung
  • Tiyuh Tanjung Aji


III.     Pemerintahan LampungAdat Pepadun [Kepenyimbangan]

Sistem Kepenyimbangan pada Masyarakat Adat Lampung Pepadun mulai berkembang sejak seba yang dilakukan oleh para pemuka Abung keBanten pada sekitar abad ke 17 M. Pada masa ini seba ke Banten dimaksudkan untuk meminta pengakuan secara adat dari Sultan Banten juga untuk belajar agama Islam [Hilman Hadikusuma]. Sistem Kepenyimbangan pada Masyarakat Adat Lampung Pepadun erat kaitannya dengan pembentukan Konfederasi Kesatuan Adat Abung Siwo Migo yang dilaksanakan di Way Rarem dan dihadiri oleh sembilan Buway yaitu Buway Subing, Buway Nunyi, Buway Nunyai, Buway Nuban, Buway Kunang, Buway Selagai, Buway Beliyuk, Buway Anak Tuha dan Buway Bulan, namun akhirnya Buway Bulan pindah kewilayah Tulang Bawang dan keberadaannya didalam adat digantikan oleh Buway Nyerupa. Penyebutan Adat Pepadun pada masyarakat adat ini dikarenakan karena disetiap pentahbisan kedudukan seseorang didalam adat dilakukan diatas Pepadun [Singgasana Adat]. Dalam perkembangannya sistem Kepenyimbangan didalam Masyarakat Lampung Adat Pepadun ini diadopsi juga oleh Mego Pak Tulang Bawang, Pubiyan Telu Suku, Buway Lima Way Kanan dan Pitu Buway Sungkai Bunga Mayang.

Pemerintahan Adat Pepadun lebih cenderung padaprinsip demokrasi, dimana setiap individu dalam sebuah pranata adat bisamengukuhkan kedudukannya didalam adat dengan syarat syarat tertentu dalamsebuah gawi adat yang disebut bimbang besar. Setiap konfederasi adat yangmenganut Adat Pepadun juga memiliki perbedaan dan kekhasannya masing masing,namun demikian dapat dikatakan secara umum hirarki adat dan penataan adoq padaMasyarakat Adat Lampung Pepadun masing masing adalah:
  1. Suntan/Settan
  2. Pengiran
  3. Rajo/Ratu
  4. Ngedeko/Dalem
  5. Radin/Minak
Melihat bahwa masyarakat adat Lampung diklasifikasikan sebagai Pemangku Adat dan bukan Pemangku Adat, yang dalam perkembangannya pada masyarakat adat pepadun terbagi kedalam dua golongan yaitu golongan Jajar dan golongan Sebah. Dua golongan ini timbul akibat dari tatacara pengambilan dan tujuan mengawini seorang gadis oleh seorang pemangku adat, bila pengambilan dilakukan secara adat dengan tujuan menjadi istri Raja maka keturunannya disebut golongan jajar. Namun jika diambil tidak dengan secara adat dan tujuannya untuk dijadikan istri mekhawwai maka keturunannya disebut golongan sebah, pada awalnya golongan ini tidak memiliki hak didalam adat, namun dalam perkembangannya  golongan ini diberikan kesempatan untuk menaikkan kedudukannya didalam adat dengan syarat syarat tertentu [Marwansyah Warganegara; Masyarakat Adat Lampung Pepadun]. Struktur Kepenyimbangan Adat dalam Masyarakat Adat Pepadun adalah sebagai berikut:
  1. Penyimbang Buway/Paksi yaitu pimpinan Jurai dariPaksi sederajat.
  2. Penyimbang Suku/Asal yaitu pimpinan dari suatu Sukuatau Bilik.
  3. Penyimbang Bumi yaitu pimpinan dari suatu kelompokkeluarga atau kerabat.
  4. Penyimbang Ratu/Puppang Penyambut merupakanpenyimbang pengganti.
  5. Penyimbang Batin.
  6. Penyimbang Raya.
Didalam sebuah Kepenyimbangan seseorang memiliki Hejeng atau posisi kedudukan, adapun susunan hejeng dalam sebuah Kepenyimbangan adalah:
  1. Hejeng Penyimbang
  2. Hejeng Pengetuho
  3. Hejeng Pengelaku
  4. Hejeng Tuho [putra mahkota]
  5. Hejeng Tunggu [wakhi mianak/kerabat]
Seseorang mendapatkan kedudukannya sebagai penyimbang dalam sistem Kepenyimbangan dalam Masyarakat Adat Pepadun dengan cara sebagai berikut:
  1. Limban Penganggu, yaitu seseorang naik tahta dengan menggantikan kedudukan orangtuanya sebagai Penyimbang, yaitu anak tertua laki laki dari Penyimbang tersebut.
  2. Ngeretepkendan Mupekki Pepadun, yaitu seseorang terlebih dulu memantapkan kedudukan orangtuanya sebagai Penyimbang yang sebelumnya adalah seorang Penyimbang Paccang.
  3. Tegak Tegi,yaitu saat seseorang tidak memiliki keturunan laki laki maka Penyimbangtersebut mengangkat menantu laki lakinya untuk menggantikan kedudukannyasebagai Penyimbang.
  4. Silih Simbat
  5. Micek
Menurut hukum adat pepadun yang lazim digunakan, apabila ada warga adat yang mampu ia memiliki hak untuk mendirikan Kepenyimbangan, dalam hal ini ada dua cara yang lazim digunakan [A. Sanoesi; Sistem Kepenyimbangan] yaitu:
  1. Nyetih Pepadun, yaitu seseorang dapat memisahkan diri dari penyimbang asalnya untuk mendirikan kepenyimbangan sendiri dengan izin dari penyimbang asalnya.
  2. Negak Bumi, yaitu seseorang mendirikan kepenyimbanngannya sendiri tanpa izin dari penyimbang asalnya dikarenakan adanya perselisihan atau penyebab lainnya.
Namun perbedaan yang paling mencolok antara Adat Saibatin dengan Adat Pepadun adalah bahwa seorang Suttan yang merupakan Saibatin memiliki wilayah, struktur dan perangkat adatnya sendiri. Sedangkan dalam Adat Pepadun seseorang memiliki peluang untuk menahbiskan kedudukannya didalam adat dalam sebuah prosesi adat dengan syarat syarat tertentu, sehingga sistem kepenyimbangan lebih identik dengan demokrasi. Konfederasi adat pendukung sistem Kepenyimbangan pada masyarakat adat pepadun masing masing adalah:

Abung Siwo Mego;
  • Buway Subing
  • Buway Nunyi
  • Buway Nunyai
  • Buway Nuban
  • Buway Kunang
  • Buway Selagai
  • Buway Beliyuk
  • Buway Nyerupa
  • Buway Anak Tuha
Buway Lima Way Kanan;
  • Buway Pemuka
  • Buway Bahuga
  • Buway Baradatu
  • Buway Barasakti
  • Buway Semenguk
Mego Pak Tulang Bawang;
  • Marga Aji
  • Marga Umpu
  • Marga Bulan
  • Marga Tegamoan
Sungkai Pitu Buway;
  • Buway Perja
  • Buway Liwa
  • Buway Harayap
  • Buway Selembasi
  • Buway Semenguk
  • Buway Debintang
  • Buway Indor Gajah
Pubiyan Telu Suku;
  • Suku Manyarakat
  • Suku Buku Jadi
  • Suku Tamba Pupus