Sabtu, 28 April 2012

[[SUKU LAMPUNG]] PERSEKUTUAN HUKUM ADAT ABUNG DAN PERKEMBANGANNYA


Oleh Prof Hilman Hadikusuma S.H.



I.         UMPU ASAL
Keadaan masyarakat Lampung yang terbagi dalam Masyarakat Adat Saibatin yang berdialek Api dan Masyarakat Adat Pepadun yang berdialek Nyow.  Pada uraian ini akan kami coba menguraikan persekutuan hukum adat mengenai Umpu Asal, Ulun Lampung, Murgou Abung Trio Diso, Abung Siwo Migou, dan Marga-Marga Abung Teritorial.
Uraian tentang Lampung dimasa sebelum perang dunia ke-dua, banyak kita dapati didalam beberapa laporan pemerintahan, berkas hukum adat, bahkan ada yang menulis buku-buku khusus tentang Lampung, misalnya yang ditulis oleh Dr.R.Broersma “De Lampongsche Districten” (1916), Dr.J,W.Van Royen “Nota Over de Lampongesche Merga’s”, Hissink “Het Pepadonwezen”, Mr.H.Guyt, “Hoodlijnen van het huwelijks recht in de lampongs” (1937),dan yang khusus tentang Abung dimasa sebelum perang dunia ke-dua ialah P.J.Vet “Het Landschap Aboeng En De Op Sumatra”,dan setelah perang dunia ke-dua ialah F.W.Funkie “Orang Abung, Volkstum Sud Sumatra im Wandel”, Leiden (1958).

Dapat dikatakan tidak ada orang Lampung yang menyatakan bahwa ia berasal dari bekas kerajaan Tulang Bawang yang dilukiskan Krom (Prof.Dr.N.J.Krom,”Zaman Hindu”, terj.Arif Effendi, Cet.ke-2, Pembangunan Djakarta, Hal.48) yang pernah ada di Lampung sekitar abad ke-tujuh. Tetapi kebanyakan dari orang-orang tua kalau ditanya menyatakan bahwa Poyang mereka berasal dari Sekala Be’rak, Daerah mana sekarang terletak di daerah Kecamatan Balik Bukit Liwa Kabupaten Lampung Utara (sebelum menjadi Kabupaten Lampung Barat). Dari nama-nama tempat yang hingga sekarang masih disebut-sebut seperti “Puncak” di daerah Ex Marga Kembahang, “Bulan” di Canggiring, dapatlah diperkirakan kebenaran dari cerita-cerita rakyat tentang kampung asal orang Lampung di zaman purba terletak di sekitar dataran tinggi Sekala Bekhak dilereng Gunung Pesagi.

Menurut cerita rakyat bahwa perkampungan orang Lampung yang pertama di Sekala Bekhak diperkirakan setidak-tidaknya sudah ada pada abad 14 yang penduduknya disebut “Orang Tumi” yang menganut kepercayaan Animisme Hindu Bhairawa, pimpinan mereka adalah seorang wanita yang disebut Ratu Sekarmong yang terikat perkumpulan memuja benda sakti “Belasa Kepampang” yaitu sebangsa pohon nangka dengan sebagian daun dan buahnya mengandung racun dan sebagian tawar. Kelompok Tumi ini kemudian dapat dipengaruhi oleh Umpu Belunguh yang menyebarkan Islam di Sekala Bekhak, pada era ini berdirilah Paksi Pak Sekala Bekhak yaitu Paksi Buway Bejalan Di Way , Paksi Buway Nyerupa, Paksi Buway Pernong dan Paksi Buway Belunguh, dengan Anak Mentuha Buway Benyata dan Nabbainya yaitu Buway Bulan

Cerita lain mengatakan (Oesman sjarief,1972) bahwa di Sekala Bekhak itu dahulu pada mulanya ada dua orang Poyang, yaitu Makdum Ngemula Jadi dan Makdum Ngemula Sakti. Salah satu dari Poyang ini menurunkan “Raina Raini” yang kemudian menurunkan Poyang Bernama Indar Gajah, Pak Lang, Sikin, Belunguh dan Indarwati. Poyang asal ini pun dikatakan berasal dari Pagaruyung berdasarkan uraian kitab “Kuntara Raja Niti” (Pegangan Raja Mengatur).

Apabila kedua cerita diatas kami hubungkan maka akan tergambar umpu-umpu asal sebagai berikut:

No
Nama Puyang
Gelar/Sebutan
Kedudukan di Sekala Bekhak
Puyang Kebuwayan
1
Indar Gajah
Umpu Bejalan Di Way
Puncak Dalom
Abung
2
Pak Lang
Umpu Pernong
Henibung
Pubiyan
3
Sikin
Umpu Nyerupa
Tampak Siring
Jelma Daya
4
Belunguh
Umpu Belunguh
Barnasi
Peminggir
5
Indarwati
Putri Bulan
Way Nekhima
Tulang Bawang


Jika kita ikuti uraian Oesman Sjarief maka Indarwati adalah cikal bakal keturunan orang Rejang Bengkulu, dalam hal ini saya belum sependapat sebaiknya diadakan penelitian lebih dahulu. Oleh karena kalau dilihat dari sejarah Pagaruyung, dimana Kuntara Raja Niti sendiri mengatakan bahwa Poyang-Poyang itu berasal dari Pagaruyung, maka menurut hemat kami bukanlah orang-orang Rejang yang berpoyang pada Indarwati [nama yang masih diragukan] tetapi sebaliknya Umpu-Umpu itu sebagian berasal dari Pagaruyung dan sebagian dari Dharmacraya yang pernah menetap di Rejang mengerjakan tambang emas bersama Datuk Parpatih Nan Sebatang dari Laras Bodi Chaniago Pagaruyung (lihat A.Dt.Batuah-A.Dt.Madjoindo, Tambo Minangkabau, Balai Pustaka, Djakarta,1956,hal.41).

Untuk sementara Indarwati kami samakan dengan Putri Bulan yang kemudian menjadi cikal bakal keturunan Ex Marga Buway Bulan yang antara lain terdapat di daerah Megou Pak Tulang Bawang. Menurut cerita rakyat dikatakan bahwa putri bulan karena satu dan lain hal menyerahkan tanah kedudukannya di Cenggiring kepada Umpu Pernong, kemudian ia beserta sebagian kerabatnya pergi menuju arah matahari terbit, Tulang Bawang, daerah mana pada sekitar abad ke 15 merupakan pasar perdagangan lada yang banyak didatangi pedagang-pedagang asing dari luar negeri.

Cerita lain menyatakan bahwa pernah terjadi pertengkaran antara kerabat Pubian yang dipimpin oleh Rakian ayah Sibrani dan cucu dari Naga berisang dengan kerabat Abung di Kaoer Bengkulu, akibat pertentangan ini maka kerabat Abung meninggalkan Kaoer dan pindah ke tepi Way selabung yang mengalir dari Danau Ranau dam bermuara di Muaradua Komering Ulu. Di Kaoer dikatakan masih ada batu-batu bekas tempat kediaman kerabat Abung, demikian diuraikan Van Royen (Dr.J.W. Van Royen, Nota Over De Lampoengsche Merga’s Hoofdstruk I, Paragraf 1).

Lain pula apa yang dicatat oleh Broersma (Dr.R.Broersma, De Lampoengsche Districten, 1916, hal.17), ia mengatakan bahwa Du Bois (bekas  Residen Lampung yang pertama tahun 1834 pernah menemukan sebuah buku yang berjudul “Sadjarah Madjapahit”), didalam buku itu dikatakan bahwa tuhan telah menurunkan orang pertama ke muka bumi yaitu Sang Dewa Senembahan dan Widodari Simoehoen, kedua dewa inilah yang menurunkan Si-Djawa Ratu Madjapahit, Si-Pasoendayang Ratu Padjadjaran dan Si-Lampong Ratu Balau.

Lampong artinya “OP HET WATER DRIJVEND(BEJALAN DI WAY = BERJALAN DI ATAS AIR), salah satu dari keturunan Si-Lampong adalah PANGERAN KEMBAHANG yang kemudian menetap dengan kerabatnya di Sekala Bekhak di lereng Gunung Pesagi. Dari kerabat asal ini kemudian terjadi perpisahan kerabat, dimana sebagian pindah ke Muaradua, setelah itu pindah lagi menuju arah selatan melalui Sungai Umpu menuju arah Bumi Agung, yang sebagian lagi dibawah pimpinan Minak Pemuka Bagindo menuju arah bukit Dempo (Di selatan Padang Ratu), kemudian dari sini berpencar lagi dari Tjango ke daerah Abung sekarang.

II.                ULUN ABUNG

Kami berpendapat bahwa yang disebut Ulun Abung (Orang Abung) adalah semua orang Lampung yang menarik cikal bakal keturunannya dari Ratu Di Puncak yang asal usulnya bukan dari langit, dan bukan pula dari Pagaruyung tetapi berasal dari Dharmacraya. Ya, suatu Kerajaan Melayu (pecahan Sriwijaya) daerah penghasil lada yang kemudian pecah karena serangan Singosari pada tahun 1275. Sifat dan watak yang keras dalam mempertahankan adat istiadat leluhur menyebabkan mereka kemudian meninggalkan Sekala Bekhak untuk tidak lebih banyak dipengaruhi ajaran Islam dari orang-orang asal Pagaruyung yang menanamkan pengaruhnya di Sekala  Be’rak disekitar Abad 13.

Penghulu kerabat Abung ini suka merantau menyusuri sungai-sungai oleh karenanya ia disebut UMPU BEJALAN DIWAY. Sebagian dari kerabat ini pernah menetap di Way Selabung Muaradua, oleh karenanya oleh orang luar mereka disebut  Orang Abung (Orang dari Selabung) dan orang Lampung sendiri menyebut ULUN ABUNG. Dari selabung kemudian mereka pindah ke Komering Ulu dan membuka daerah di  Martapura sekarang, dibawah pimpinan MINAK RIO BAGINDO, pada akhir abad 14.

Besar kemungkinan sebagai akibat kerusuhan yang terjadi di Palembang yang dilakukan oleh kepala rampok cina Hok Kian Cencu Yi pada tahun 1405 (Prof. Dr. Slamet Muljono, “Runtuhnya keradjaaan  Hindu Djawa dan timbulnya Negara-Negara Islam di nusantara”, Bhratara Djakarta 1968,hlm.70) maka kerabat Abung ini menyingkir kearah Bukit Barisan dan mendirikan perkampungannya yang pertama di CANGUK GATCAK (CAHYA NEGERI) sebagai pusat kependudukan baru bagi kekuasaan persekutuan kerabat Keratuan Dipuncak dibawah pimpinan MINAK PEMUKA BAGINDA. Dengan berkembangnya pusat kedudukan Punyimbang (anak tertua lelaki) Kebuwayan Umpu Bejalan Di Way ini maka semua anggota kerabat mereka, antara lain yang telah membuka teratak bersama-sama orang Pubian disekitar Bukit Dempo (di selatan hulu Way Seputih Padang Ratu dan Way Pubian) kesemuanya berkumpul di Canguk.

Dilihat dari perlengkapan adat Pepadun yang mereka pakai maka sisa zaman Hindu Dharmacraya yang mereka warisi dan banggakan ialah SESAKA dan KAYU HAKHA/ARO dan (sandaran duduk bagi Ratu). Kemudian dikarenakan hubungan kerabat ini dengan kekuasaan Islam Cina Palembang dibawah pimpinan Laksamana Ceng Ho (lihat Slamet Muljono,op.cit.hlm.89) sebagai pengakuan atas kedudukan Minak Pemuka Bagindo sebagai pemimpin sukunya, ialah didapatnya Payung Kuning yang dizaman itu biasa diberikan Kaisar Islam Yung Lo kepada para utusan negara-negara Asia Tenggara yang datang di negeri Cina secara bersahabat. Kedudukan Payung Kuning ini menurut hukum adat Pepadun dikemudian hari adalah tanda kebesaran Punyimbang Pepadun Tiyuh atau Kepunyimbangan Bumi.

Dimasa kekuasaan pemerintahan Minak Pemuka Bagindo sifat-sifat Ulun Lampung yang suka menjelajah sepanjang sungai (Bejalan Di Way) sudah agak berkurang, sebagian besar dari kerabat ini sudah memusatkan diri berkumpul dalam bentuk teratak perkampungan, dengan sistem pencaharian membuka pertanian peladangan liar ditepi-tepi sungai, terutama di Way Rarem dan Way Abung.

Sistem pertanian peladangan liar yang memburu hutan menimbulkan pengakuan hak Ulayat Kerabat (Murgou) Abung, tindakan penguasaan tanah ini seringkali berakibat timbulnya perselisihan mengenai penguasaan tanah diantara kerabat Abung sendiri, antara kerabat Abung dan kerabat-kerabat Kebuwayan Lampung yang lain, antara lain dari Keratuan Pemanggilan dan Keratuan Balau.

Perpecahan diantara mereka merugikan kehidupan mereka sendiri, apalagi pada masa itu daerah pedalaman Lampung seringkali dimasuki Bajau (perampok) dari laut Jawa untuk melakukan perampasan hasil bumi seperti lada dan hasil hutan lainnya, baik dipeladangan maupun diperkampungan mereka. Untuk mengatasi kelemahan ini maka mereka Punyimbang-Punyimbang Kebuwayan bersatu mufakat menetapkan bahwa penguasaan tanah di daerah Lampung hanya terdiri dari Empat besar, yaitu:

1.  Ratu Di Puncak menguasai tanah hak Ulayat Abung di Way Abung, Way Rarem dan Way Seputih.
2. Ratu Pemanggilan menguasai tanah hak Ulayat Pemanggilan di Pesisir Krui, Pesisir Semaka, Muara Dua dan Martapura.
3.  Ratu Di Balau menguasai tanah hak Ulayat Pubiyan di bagian Selatan Way Sekampung, Teluk Betung dan Bandar Lampung,
4. Ratu Di  Pugung menguasai tanah hak Ulayat Bandar Pugung didaerah Pugung, Jabung, Maringgai dan Sekampung Ilir.

Pengaruh hak Ulayat Murgou Abung pada masa itu meliputi sebagian besar daerah Lampung Utara, termasuk Way Kanan sampai Way Lempuing dan Way Tulang Bawang.  Anggapan pengaruh hak Ulayat Keratuan Di Puncak ini didasarkan kewibawaan magis religious dari Minak Pemuka Bagindo selaku Marga Raja yang diutamakan sebagai orang pertama diantara yang sama (Primus Interpareh) diantara semua orang Lampung yang menganggap ada hubungan kerabat dengan Ratu Di Puncak baik karena keturunan langsung, maupun karena Mewari (Adopsi) ataupun Perkawinan.


Pedoman dasar dalam melaksanakan pemerintahan kerabat yang dikemudian hari merupakan kepribadian atau Filsafah hidup orang Lampung pada umumnya, adalah sebagaimana digariskan zaman Ratu Di Puncak yang disebut Pi’il Pesenggiri, dalam untaian kata-kata sebagai berikut:

Tandani Ulun Lampung Wat Piil-Pusanggikhi 
Mulia Heno Sehitung Wat Liom Khega Diri 
Juluq-Adoq Kham Pegung, Nemui-Nyimah Muakhi
Nengah-Nyampokh Mak Ngungkung, 
Sakai-Sambayan Gawi

Tando nou ulun lappung, wat pi’iil pesenggiri,
You balak pi’iil, ngemik maluw, ngigou diri,
Ulah nou liyuw you bejuluk you be-adek,
Iling mewariy ngejuk ngakuk nemui nyimbah,
Ulah nou pandai you nengah  you nyappur,
Ngubali jejamou, begawiy balak, sakai sambaian.



1 komentar: