Diposting Oleh Diandra Natakembahang
Sebermula
diceritakan ialah semenjak zaman Nabi
Muhammad
SAW pada lebih kurang
abad ke 6 [enam] Masehi, beliau mempunyai sahabat karib yang rapat, yang boleh dibilang makan
sama sepiring,
tidur sama sebantal ialah:
1.
Sayidina Abu Bakar
2.
Sayidina Umar
3.
Sayidina Ali
Inilah
sahabat-sahabat beliau, maka diriwayatkan Sayidina
Usman memangku tugas
giliran menjadi Khalifah atau Raja
yang bertempat di Tanah
Arab, beliau ini berputra
seorang laki-laki yang cakap, pantas, cerdik pandai bernama La Laula yang patut
menjadi pemimpin.
Maka disuatu tempo
terbitlah pikirannya
akan turun dibawah angin untuk mengembangkan Agama Islam dan memperpanjang
Zuriatnya, yang kini ternyata menjadi sejarahnya sehingga diladeninyalah tekad cita-cita yang tercantum didalam
sanubarinya.
Dikisahkan
berkemaslah La Laula[1]
tersebut sekeluarga beserta 6 orang putranya dan diikuti oleh beberapa orang
yang suka rela mengikut. Mereka berangkat berlayar dengan
mempergunakan sebuah Bantera yaitu perahu
Gangsa yang tiada
tentu arahnya. Setelah beberapa hari lamanya mereka
berlayar singgahlah mereka disuatu tempat yang bernama Bandar Rihim yakni
bandarnya si Rahim yang umumnya sekarang disebut Bandar Rum, mereka diajak akan tinggal disini bersama-sama, tetapi
mereka menolak kerena akan meneruskan perjalanan, beliau hanya minta peringatan
atau tanda mata, dan Rahim memberi:
1. Sebuah Meriam
2. Sebuah Piring Panjang
3. Tiga Buah Mangkuk Batu
4. Satu Piring Sambal
5. Sebuah Piring Bertutup Batu
Lantas
mereka se-bahtera itu meneruskan perjalanan mereka, beberapa hari kemudian
mereka berlabuh di Bandar Cina. Di Cina diajak pula supaya mereka tinggal menetap
disini, tetapi mereka menolak hanya minta peringatan pula dari Cina. Dari
Cina mereka dianugrahi sebuah
kendi batu, lantas meneruskan perjalanan ke sebelah selatan. Setelah sekian lama berlayar tibalah
mereka di Pantai Tanah Banten, La
Laula bersama rombongan menemui Sultan Banten.
Sultan
Banten mengajak mereka untuk tinggal disini tetapi mereka menolak, hanya minta
peringatan/tanda mata dari sang Sultan. Sultan Banten memberi 3 [tiga] buah tombak besi dan salah satu
diantaranya pakai mata-mata serta sebilah keris pusaka. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan
mereka kesebelah utara sehingga tibalah mereka di Pagaruyung. Mereka
sebahtera tersebut pergi untuk mendapat/menemui Raja Pagaruyung dan sang Raja membujuk mereka tetap tinggal disini tetapi ditolak, namun La Laula meminta tanda mata dan Raja mengabulkan permintaan tersebut, beliau menganugerahi 2 [dua] buah Tameng untuk menangkis senjata musuh yang
terbuat dari kulit dan sebuah dari rotan yang dianyam, 2 [dua] buah peci yang terbuat dari Belulang,
sebilah Keris pusaka kecil serta
sebilah Pedang kecil.
Selanjutnya
bahtera itu melanjutkan perjalanan mereka kearah selatan lagi beberapa hari
lamanya bertemulah dengan Cukuh
yakni batu timbul diatas permukaan laut maka berhentilah mereka disini dan
perahu tersebut ditambatkan pada akar kayu kecil-kecil. Tiada berapa jauh dari pantai La Laula
naik keatas cukuh batu tersebut sambil berkata Cukuh, sampai sekarang masih
ada. Beliau kemudian lalu
ia naik dan meninjau keadaan disini apakah ada tanah yang agak luas apa tidak,
rupanya betul-betul ada tanah yang lebar lalu didapatinya dan naik keatas
daratan serta turun dan mendaki bukit, dari bukit ini beliau meninjau kiranya
benar ada tanah yang luas dan dipandangnya.
Pandangannya
terlintas kepada sebuah bukit, lalu didapatinya bukit ini hingga sampai
kepuncaknya maka nyata benar puncak bukit ini Persegi Empat, dari sinilah ia dinamakan sebagai Bukit Pesagi. Setelah mengamati keadaan dipuncak
bukit ini maka sejurus dilihatnya seorang laki-laki yang rupanya sudah lebih
dahulu dari La Laula maka bertemulah mereka berdua dan bersalam-salaman. Umpu ini
berkata kepada La Laula
syukurlah anda
datang kesini, saya memang sudah lama menunggu-nunggu teman untuk bersama-sama
memiliki tanah ini, jawab La Laula baiklah lalu mereka berdua mufakat dan
berkeputusan akan dibagi, sambil berdiri kearah matahari mati dengan
menggunakan acungan tangan sambil berdiri Umpu tersebut membagi tanah itu, sebelah
kanan saya yang menguasai
dan sebelah kiri anda yang
menguasai katanya
kepada La Laula sampai dihari kemudian.
Setelah
segala pembicaraan selesai turunlah mereka, kiranya yang seorang Umpu ini bernama Rokian, namanya yang umumnya sekarang disebut Puyang Rakihan[2]
sebutannya. La
Laula turun pula dari puncak bukit ini kearah kiri dengan maksud akan memeriksa tanah dan keadaannya
yang kelihatannya daratan rendah dan luas agaknya, pandangannya tidak salah
tanahnya baik, lebar dan terlihat banyak semacam pohon pisang rupanya karena
daunnya lebar-lebar dan panjang, setelah diamati rupanya bukan pisang melainkan
Sekala[3]
yang sangat lebar dan luas.
Dari sinilah tanah [daerah] ini dinamakan Sekala Bekhak, tetapi dalam peristiwa ini ia berjumpa dengan Sirih yang tidak Berjunjungan [Cambai Mak Bejunjungan] semacam kayu saja rupanya tetapi
batangnya semacam perak rupanya, daunnya serupa emas keliatannya. La Laula bingung dan sejenak terpakur sebab
diduga tentu ada yang mempunyai/memiliki benda antik itu sehingga mereka mundur
sedikit untuk terlebih dahulu mengamatinya, setelah diamati kiranya benar-benar
ada orangnya yaitu orang Tumi yang beragama Budha.
La
Laula waspada dan bersiap dalam hati karena ia yakin ini adalah musuh yang akan
menghambat maksudnya yang akan mengakibatkan bentrokan dan pertempuran
nantinya, maka La Laula pulang kembali mendapatkan perahu Gangsa beserta
rombongan, untuk bersiap-siap dan membawa teman-temannya semua serta membawa
semua peralatan/perkakas/senjata yang diperoleh dalam perjalanan guna
menghadapi musuh tersebut yaitu orang Tumi dan Budha. Mereka naik ke gunung mendapatkan musuh dengan maksud akan
mengusirnya sehingga terjadilah suatu pertempuran yang diketuai oleh La Laula,
dalam pertempuran tersebut rombongan La Laula menggunakan senjata atau pusaka
yang mereka dapatkan dalam perjalanan seperti: keris, pedang, tombak, meriam
picitan, tameng/penangkis
dan sebagainya. Mujur
bagi mereka mendapat kemenangan, sehingga penduduk/musuh bercerai berai dan
ahirnya mereka menduduki wilayah ini. Namun demikian Sirih [cambai] yang terlihat tadi ikut hilang agaknya dibawa oleh orang Tumi dan Budha itu. Maka wilayah/tanah ini dikuasai oleh mereka anak beranak dengan tenang
dan aman dan akhirnya tanah bumi dan segenap pusaka/perkakas yang mereka miliki
diserahkan oleh La Laula kepada 6 [enam] orang puterannya dan La Laula akan pulang kembali.
Namun putra sulungnya tidak mau tinggal disini dia akan mengikuti orang tuanya, maka tanah bumi serta semua warisan
diserahkan oleh La Laula kepada 5 lima] orang puteranya
yang lain.
Sebuah
rumah kediaman bagi ke 5 [lima] orang anaknya ini diberi nama Madras Gedung Suani yang didirikan di Sekala
Bekhak, lama kelamaan mereka tinggal disini dengan rukun dan damai bersama-sama
dengan hamba rakyatnya.
Pada akhirnya 3 [tiga] orang diantara mereka akan pindah karena merasa
kurang senang/tidak betah lagi tinggal disini mereka adalah Sitambakura,
Sipetar
dan Sikumabar.
Berangkatlah mereka
bertiga kearah matahari hidup [terbit] dan yang tinggal 2 [dua] orang yaitu Benyata dan Pernong. Tidak
lama kemudian datanglah seorang laki-laki kesini dengan maksud akan mufakat
dengan Benyata dan Pernong, beliau ini mengaku Putra Raja Pagaruyung[4] berangkat
dari negerinya dengan Jalan
Di Air [Jalan
Di Way]
kemudian berdiam dan
menetap pula disini bersama-sama dengan Benyata dan Pernong. Tidak lama berselang datang pula 2 [dua] orang yang bernama Ratu Berdarah Putih dan Karmong dengan maksud ingin mufakat
untuk bersama sama tinggal dan berdiam
disini yang diterima dengan
senang hati.
Mengingat
bahwa mereka sudah ramai dan banyak, hidup berdampingan dengan rukun dan
damai untuk sekian lama, tetapi hukum-hukum dan adat belum ada karena tidak ada
yang mengaturnya walau ada diantara mereka yang sudah pandai namun mereka
khawatir akan tetap terjadi sesuatu yang tidak baik nantinya. Untuk menghindari hal tersebut maka
mereka mengadakan musyawarah untuk mencari jalan terbaik guna mengatur dan menyusun
hukum atau adat yang akan dipakai.
Musyawarahlah mereka mengambil kesimpulan akan mohon
pertolongan dari Raja
Pagaruyung, maka
diutuslah seorang diantara mereka untuk menemui Raja Pagaruyung untuk
menyampaikan permohonan guna membantu mereka. Maka Raja Pagaruyung tidak keberatan
mengabulkan permintaan tersebut dan beliau mengirimkan seorang puteranya yang bernama Lampung untuk tinggal disini juga.
Oleh
Lampung disusunlah dan mereka diharuskan terlebih dahulu melaksanakan Begawi [semacam pesta adat] yang pada pelaksanaannya akan memotong 2 [dua] ekor kerbau yaitu seekor kerbau
berwarna hitam dan putih bertanduk sebelah, dan seekor berwarna putih dan hitam
bertanduk sebelah [satu]. Inilah piranti yang akan digunakan dalam pegawian
serta ditambah dengan peralatan atau kebutuhan kebutuhan yang lain, setelah cukup maka dilangsungkan
pegawian itu dan pada saat inilah mereka menyusun hukum atau adat dan semua
peraturan yang diperlukan serta pembagian tanah/wilayah.
Setelah
adat tersusun maka La Laula dan seorang putra sulungnya berangkat menuju [mendapatkan] perahu Gangsa yang tertambat di Cukuh dahulu. Setelah tiba disana ia sangat terkejut
karena menemukan sebagian rombongan yang tinggal di perahu Gangsa itu semuanya sakit bahkan ada
diantaranya yang telah meninggal dunia. La
Laula bertanya dan mereka pun bercerita bahwa mereka melihat sebuah Nangka yang besar dan bagus timbul didekat air dekat bahtera ini dan mereka
sangat berselera untuk memakannya, sehingga dimakanlah nangka tersebut namun
setelah makan buah itu semuanya mabok rupanya buah nangka tersebut beracun. Kemudian La Laula mengatakan bahwa itu
adalah racun tidak boleh dimakan melainkan sekarang yang harus dimakan adalah kulit atau batangnya itu yang menjadi obat [penawar racun]. Maka
dimakanlah oleh mereka seperti apa yang diperintahkan oleh La Laula, setelah
mereka makan batang nangka itu mereka segar waras kembali rupanya benar bahwa
batangnya sebagai obat atau penawar.
Singkat
cerita bahwa perahu Gangsa
itu tertambat pada akar pohon nangka tersebut, tetapi pohon nangka itu terbalik [jurak], cabang, ranting dan daunnya kebawah
sedangkan batang dan akarnya keatas. Diperintahkan oleh La Laula kepada mereka supaya batang
nangka itu dibuat Pepadin yang
nantinya dapat digunakan sebagai azimat dan pusaka juga merupakan zuriat [sejarah] dikemudian hari maka segera
dilaksanakan oleh mereka dan pada umumnya sekarang disebut Pepadun.
Setelah
selesai beliau memberikan petuah dan amanat
kepada 5 [lima] orang puteranya, maka La Laula bersama putra
sulungnya bernama Laruk akan segera
pulang dengan menggunakan perahu Gangsanya. perlu pula kita ketahui bahwa
kedatangan beliau dahulu menginjakkan kaki kanannya terlebih dahulu menghadap
matahari hidup [terbit] dan sekarang beliau akan pulang
menginjakkan kaki kirinya sambil menghadap matahari mati [arah kiblat] sambil berkata perhentian atau
kesudahannya tapakku
dibawah angin maka berangkatlah beliau beserta putera sulungnya dan rombongannya.
Kisah
Kelima Orang Putra La Laula Yang Tinggal; Setelah kepergian Orang Tua mereka, kemudian mereka melaksanakan apa-apa yang
diamanatkan [diperintahkan] kepada mereka yaitu mengambil dan
membuat batang nangka itu menjadi Pepadin
[Pepadun]
dengan lalu kemudian dibawa mereka ke Sekala Bekhak dibuat berbentuk perahu seperti yang diperintahkan La Laula. Disaat mereka mengangkat pohon nangka
itu untuk dibuat menjadi pepadun ternyata dahannya terdiri dari dua macam
dahan, yang satu berupa dahan kayu nangka sedangkan yang satu lagi berupa
sebukau, yang digunakan oleh mereka sebagai penawar segala bisa atau racun dan
sebagai pusaka asli mereka.
Adapun
nama nama putra La Laula yang tinggal di
bumi Sekala Bekhak adalah sebagai berikut:
1.
Benyata
2.
Pernong
3.
Sitambakura
4.
Sipetar
5.
Sikumabar
Pembagian
Tanah dan Daerah di wilayah
Sekala Bekhak adalah
dengan cara sebagai berikut; Lampung
[Putera Raja Pagaruyung] menyusun para Umpu yang mendapatkan bagian, dan Benyata ditugaskan untuk membagi wilayah dengan
4 [empat] orang saksi yaitu dari Jalan
Di Way, Ratu Berdarah
Putih, Pernong dan Karmong secara bergiliran.
1. Giliran dari Jalan Di Way disaksikan oleh Ratu Berdarah Putih, Pernong dan Karmong
2. Giliran dari Ratu Berdarah Putih disaksikan oleh Jalan
Di Way, Pernong dan Karmong
3. Giliran dari Pernong disaksikan oleh Jalan Di Way, Ratu Berdarah Putih dan Karmong
4. Giliran dari Karmong disaksikan oleh Jalan Di Way, Ratu Berdarah Putih dan Pernong
Adapun batas batas wilayahnya adalah sebagai berikut:
1. Wilayah Jalan Di Way dari Kayu Kekhinjing Kabehuk sampai di Watos
2. Wilayah Ratu Berdarah Putih dari Watos
sampai Tampak Siring
Sukau
3. Wilayah Pernong mulai dari Siring Teba sampai Kayu Kekhinjing Kabehuk
4. Wilayah Karmong mulai dari Siring Teba sampai di Way Handak
5. Wilayah Benyata mulai dari Way Handak sampai di Pondok
Puar Biding Kebau [Dwikora]
6. Wilayah bagian untuk Lampung yaitu
mulai dari Pondok Puar Biding
Kebau sampai arah
matahari hidup [terbit].
Kisah
putera Raja Pagaruyung
yang bernama Lampung; Disaat
mereka melangsungkan pegawian yaitu menyusun adat, beliau diberi gelar Ratu Ngegalang Paksi. Setelah segala
urusan mereka selesai,
baik menyusun Hukum Adat dan
Pembagian Wilayah dari
Sekala Bekhak ini mereka berpisah dan Lampung
menetap
di Terbanggi.
Demikianlah Tarikh Sekala Bekhak ini untuk untuk sama sama diketahui anak
turunan hingga hari penghabisan.
Note:
1. Nama dari
La Laula adalah Syech Aminullah Ibrahim, beliau dimakamkan ditepi Way
Manula yang lebih dikenal dengan Keramat Way Manula di Lemong Krui.
2. Puyang Rakian atau yang sering disebut Puyang Mena Tepik
adalah sisilah ke 5 [lima] dari Paksi Buway Bejalan Di Way, keramat Puyang
Rakian terdapat di Kuta
Hakha Umbul Limau, Puncak Sukarami.
3. Sekala adalah tumbuhan sejenis Honje atau Kecombrang.
Sekala Bekhak bermakna Sekala yang banyak dan luas, tumbuhan ini banyak
terdapat di lereng Gunung Pesagi.
4. Belasa
Kepampang [Nangka Bercabang] dahannya
terdiri dari dua macam,
satu berupa dahan kayu Nangka sedangkan yang satu lagi berupa Sebukau. Belasa Kepampang
situsnya terdapat di Way Nekhima. Pepadun yang dibuat dari Belasa Kepampang
adalah Pusaka Paksi Pak yang awalnya disimpan oleh keturunan Umpu Benyata,
namun saat ini disimpan di Lamban Gedung Paksi Belunguh.
5. Cambai Mak
Bejunjungan [Sirih Tanpa Junjungan] diriwayatkan tumbuh diatas Batu Selelagok
menjadi Pusaka Paksi Bejalan Di Way Sekala Bekhak. Situs Cambai Mak Bejunjungan
terdapat di Teratas Kembahang.
ini kisahnya tahun berapa? kemudian pagaruyung itu tahun berapa ini perlu diperhalusi catatanya..apakah sama dengan tulang bawang? ini juga perlu di crosscheck betul..agar lebih akurat
BalasHapusBetul Tahun berapa ini, bila perlu sesepuh adat ngumpul ini, ini cerita dan mengklaim hanya sepihak, Cerita yg tidak ada dasar nya
BalasHapusInti nya semua cerita yang di ceritakan menunjukkan mereka adalah pendatang, yang awal nya ingin menyebarkan agama islam di tanah sekala brak, setelah mengalahkan ratu sekerumong malah berbagi wilayah haha.
BalasHapus