Oleh Diandra Natakembahang
Lambang dari Paksi Bejalan Di Way adalah Cambai Mak
Bejunjungan yang diriwayatkan tumbuh diatas Batu Selelagok. Paksi Bejalan Di
Way memiliki falsafah Cutik Kidang Mak
Gayah bermakna sedikit namun berkecukupan, Cicca atau Semboyan dari Paksi
Bejalan Di Way adalah Sai Tumbuk Sekhatus
yaitu satu banding seratus bermakna gagah berani, Nyukkak Cekokh Nyapang Kelapa Lawi bermakna berani mengambil
resiko.
Secara etimologi Kembahang berasal dari
kata Kembohong yaitu Bekasom. Bekasom adalah sejenis fermentasi makanan yang
pada zaman purba pernah dibuat Bekasom dari Ludai yaitu sejenis ular besar.
Jurai Abung yang merupakan keturunan Paksi
Bejalan Di Way memiliki kaitan dengan Pemanohan
ini, yang mana Bekasom Ludai dapat dibuka setibanya mereka kembali ke Sekala
Bekhak.
Sekala Bekhak sebagai sebuah Peradaban Kuno yang besar menghasilkan banyak
produk produk Kebudayaan. Salah satu eksistensi terbesar dari Sekala Bekhak
adalah diciptakannya Had Lampung oleh
Raja Raja di Sekala Bekhak pada medio Abad ke IX Masehi. Setelah teciptanya Had Lampung inilah Raja Raja di Sekala
Bekhak mendokumentasikan Sumber Sejarah berupa Tambo dan Silsilah dalam Hurup
Lampung yang ditulis dengan benda tajam diatas tanduk kerbau yang mengkilat,
kulit kayu dan dalung sebelum adanya kertas.
Pepadun pertama di Lampung berasal dari Sekala
Bekhak. Pepadun dibuat dari Belasa
Kepampang yang ditebang dan dijadikan Singgasana Pepadun. Pepadun sendiri befungsi
sebagai Singgasana Raja saat penobatan Raja Raja di Paksi Pak Sekala Bekhak
yang digunakan oleh keempat Paksi. Pada awalnya Pepadun disimpan oleh Benyata. Pada
Tahun 1939 terjadi perselisihan diantara keturunan Benyata memperebutkan
keturunan yang tertua atau yang berhak menyimpan Pepadun. Maka atas persetujuan
Paksi Pak Sekala Bekhak, Pepadun tersebut disimpan dirumah keturunan yang lurus
dari Umpu Belunguh hingga sekarang.
Belasa
Kepampang adalah sejenis tumbuhan Nangka bercabang, pohonnya
memiliki dua cabang besar, yang satunya nangka dan satunya lagi adalah sebukau
yaitu sejenis kayu yang bergetah. Keunikan Belasa Kepampang ini bila terkena
cabang kayu sebukau akan dapat menimbulkan penyakit koreng atau penyakit kulit
lainnya, namun demikian getah cabang nangka adalah penawar dari penyakit
tersebut.
Gamolan yang pertama berasal dari Kembahang
dan saat ini ada di Lamban Gedung, Kembahang. Gamolan sendiri berasal dari kata
kata Gimol yang artinya Gemuruh atau Getar yang berasal dari suara bambu
dan menjadi Gamolan yang artinya
Bergemuruhan atau Bergetaran, sementara Begamol
artinya Berkumpul [Wirda D. Puspanegara].
Gamolan pada awalnya merupakan instrumen tunggal yang konon dimainkan dan yang
menemani seorang Mekhanai Tuha atau
Bujang Lapuk yang menetak Pekhing Mati
Temeggi atau tunggul bambu tua tegak yang sudah lama mati [Syapril Yamin].
Gamolan memiliki Tangga Nada Lampung Sai, Khujai, Khawa, Khitu, Khop, Kayu [1 2 3 5 6 7]. Dua orang pemain
duduk dibelakang alat musik ini salah satu dari mereka memimpin [Begamol]
memainkan pola pola melodis pada enam lempeng, dan yang satunya [Gelitak] mengikutinya pada dua lempeng sisanya, lempeng lempeng
pada Gamolan distem dengan cara menyerut punggung bambu agar berbentuk cekung,
Gamolan dimainkan bersamasama dengan sepasang gong [Tala], drum yang kedua ujungnya bisa dipukul [Gindang] dan sepasang simbal kuningan [Rujih]. Ada
beberapa Tabuhan Dasar Gamolan yaitu Tabuh Nyambai Agung, Tabuh Sekeli, Tabuh
Jakhang, Tabuh Tekhai Angin, Tabuh Alau Alau Kembahang, Tabuh Tari dan Tabuh
Hiwang.
Wayak adalah Syair Lampung dilantunkan oleh Muli Mekhanai. Wayak dilagukan dengan tegas dan lepas, pada masanya saat seorang Mekhanai akan mengunjungi Muli kekasihnya diwaktu malam maka dia
akan melantunkan Wayak setelah mendekati Pekon
kediaman sang Muli dan setelah
mendekati Pekon tesebut maka Wayak
dihentikan. Lantunan Wayak yang dilagukan oleh sang Mekhanai adalah pemberitahuan kepada Kekasihnya bahwa ia telah
mendekati kediaman sang Muli. Pertemuan atau Kencan Muli Mekhanai ini disebut
dengan Manjau. Selepas Manjau dan meninggalkan kediaman
Kekasihnya maka Mekhanai kembali mengumandangkan Wayak dengan suara yang
nyaring lepas sebagai ucapan selamat tinggal dan berjumpa kembali diwaktu yang
akan datang.
Dalam kesempatan
lain Muli Mekhanai saling berbalas Pantun dalam Wayak saat kebersamaan Muli
Mekhanai menanam dan menuai padi saat musim tiba di sawah Penyimbang Adat dan
ketika Upacara Perayaan. Suatu ketika saat seorang Muli akan melepas masa
lajangnya maka ia akan diajak Indai dan
teman sepergaulannya untuk bertamasya bersamasama menuju ketempat pemandangan
indah. Saat tamasya ini sang calon Kebayan
berpamitan dengan Muli Mekhanai teman sepergaulannya karena akan memulai
hidup baru dan berumah tangga. Ungkapan kata berpamitan ini dinyanyikan dengan
Wayak yang kemudian dijawab dengan Wayak pula oleh para Indai Kanca nya pada acara perpisahan ini. Perjalanan tamasya
bersama yang merupakan pertemuan terakhir sebagai teman semasa Muli Mekhanai
ini, menurut Adat disebut sebagai Pulangan.
Mesigit dalam Bahasa
Lampung saat ini berarti Masjid. Pada awalnya sebelum datangnya Islam di Sekala
Bekhak atau Masa Hindu Budha, Mesigit adalah sarana Peribadatan yang berupa
Patung Patung dan atau Pura yang terbuat dari batu atau kayu. Pada era Ratu
Mejengau medio abad ke 16 Masehi didirikanlah Masjid pertama di Kembahang.
Rumah Ibadah tersebut akhirnya dipugar kembali pada era Pangeran Puspanegara.
Pemugaran yang kedua dilakukan oleh Syekh Bahaudin dan pemugaran yang terakhir
oleh Ustad Anwar Yahya yang olehnya diberi nama Masjid Al I’tisom, tempatnya ada di Kembahang Tuha.
Pada 1920 dibukalah Ma’had Al Maktabah Al Islamiyah [Pusat Pendidikan Agama
Islam] oleh Syekh Bahaudin di Kembahang. Siswa siswanya berdatangan dari
seantero Keresidenan Lampung, Keresidenan Bengkulu dan Keresidenan Palembang.
Syekh Bahaudin dibantu oleh keponakan keponakannya yaitu Ustad Anwar Yahya,
Sadaruddin dan lain lain yang merupakan Alumni Thawalib, Padang Panjang,
Minangkabau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar