Oleh Diandra Natakembahang
Tafsiran
para Ahli Purbakala seperti Groenevelt,
L.C.Westernenk dan Hellfich didalam menghubungkan bukti bukti memiliki pendapat
yang berbeda beda namun secara garis besar didapat benang merah kesamaan dan
acuan yang tidak diragukan didalam menganalisa bahwa Sekala Bekhak merupakan
cikal bakal suku bangsa
Lampung.
Dalam
catatan Kitab Tiongkok Kuno yang disalin oleh Groenevelt kedalam Bahasa
Inggris, bahwa antara tahun 454 dan 464 Masehi, disebutkan kisah Kerajaan
Kendali yang terletak diantara Pulau Jawa dan Kamboja. Prof Wang Gungwu dalam
majalah ilmiah Journal of Malayan Branch
of The Royal Asiatic Society
dengan lebih spesifik menyebutkan bahwa pada tahun tahun 441, 455, 502, 518,
520, 560, dan 563, Yang Mulia Sapanalanlinda dari Negeri Kendali mengirimkan
utusannya ke Negeri Cina. Menurut L.C. Westenenk nama Kendali ini dapat kita
hubungkan dengan Kenali ibukota kecamatan Belalau sekarang. Nama Sapalananlinda
itu menurut kupasan dari beberapa ahli sejarah, dikarenakan berhubung lidah
bangsa Tiongkok tidak fasih melafaskan kata Sribaginda, ini berarti
Sapanalanlinda bukanlah suatu nama.
Sekala
Bekhak Kuno menjalin kerjasama perdagangan antar pulau dengan Kerajaan Kerajaan
lain di Nusantara, bahkan dengan India dan Cina. O.W. Wolters dari
Cornell University dalam bukunya Early
Indonesian Commerce, Cornell University Pres, Ithaca, New York, 1967
halaman 160 mengatakan bahwa ada dua Kerajaan di Asia Tenggara yang mengembangkan
perdagangan dengan Cina pada abad ke 5 dan 6 yaitu Kendali di Andalas dan
Holotan di Jawa. Dalam catatan Dinasti Liang [502- 556] disebutkan tentang
letak Kerajaan Sekala Bekhak yang ada diselatan Andalas dan menghadap kearah
Samudera Hindia. Adat Istiadatnya sama dengan Bangsa Khmer dan Siam, Negeri
ini menghasilkan pakaian yang berbunga, kapas, pinang, kapur barus, dan damar.
Dari
Prasasti Hujung Langit [Hara Kuning] bertarikh 9 Margasira 919 Saka yang
ditemukan di Bunuk Tenuwakh Liwa, terpahat nama Raja didaerah Lampung yang
pertama kali ditemukan pada Prasasti. Prasasti ini terkait dengan Sekala Bekhak
Kuno, Prof Dr Louis Charles Damais dalam buku Epigrafi dan Sejarah Nusantara yang diterbitkan oleh Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1995, halaman 26, 45, diketahui nama
Raja yang mengeluarkan Prasasti ini, tercantum pada baris ke 7, menurut
pembacaan Prof Dr Louis Charles Damais namanya adalah Baginda Sri Hari
Dewa.
Para
Puyang Bangsa Lampung menempati dataran tinggi Sekala Bekhak dilereng Gunung
Pesagi, sebagaimana I Tshing yang pernah mengunjungi Sekala Bekhak dan beliau
menyebut To-Langpohwang bagi penghuni Negeri ini. Dalam Bahasa Hokkian, dialek
yang dipertuturkan I Tshing, To-Langpohwang perarti Orang Atas dan seperti diketahui Pesagi dan dataran tinggi Sekala
Bekhak adalah puncak tertinggi di Tanoh Lampung.
Dalam
buku The History of Sumatera karya
William Marsdn, The Secretary to the President an The Council of Port of Port
Marlborough Bengkulu, 1779, diketahui asal usul penduduk asli Lampung. Didalam
bukunya William Marsdn mengungkapkan “Apabila
Tuan Tuan menanyakan kepada Masyarakat Lampung tentang darimana mereka berasal,
mereka akan menjawab dari dataran tinggi dan menunjuk kearah Gunung yang tinggi
dan sebuah Danau yang Luas”. Dari tulisan ini bisa disimpulkan bahwa Gunung
yang dimaksud adalah Gunung Pesagi sedangkan Danau tesebut adalah Danau Ranau.
Prof
Hilman Hadikusuma menyusun hipotesis keturunan Ulun Lampung berdasarkan Kuntara Raja Niti sebagai berikut, Indar
Gajah gelar Umpu Bejalan Di Way kedudukan Puncak Dalom menurunkan Abung, Pak
Lang gelar Umpu Pernong kedudukan Henibung menurunkan Pubiyan, Sikin gelar Umpu
Nyerupa kedudukan Tampak Siring menurunkan Jelma Daya, Belunguh gelar Umpu
Belunguh kedudukan Barnasi menurunkan Pemunggir, Indarwati gelar Putri Bulan
kedudukan Cenggikhing Way Nekhima menurunkan Tulang Bawang. Lebih lanjut lagi Sekala Bekhak Kuno
adalah merupakan muasal dari Kerajaan Sriwijaya, dimana saat pesebaran awal
dimulai dari dataran tinggi Sekala Bekhak, satu kelompok menuju keselatan
menyusuri Dataran Lampung dan kelompok yang lain menuju kearah utara menuju
Dataran Palembang [Van Royen : 1927]. Seorang keturunan dari Sekala Bekhak Kuno
adalah merupakan Pendiri dari Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jaya Naga yang
memulai Jurai Sriwijaya awal dengan Ibu Negeri Minanga Komering [Arlan Ismail :
2003].
Zawawi
Kamil dalam Menggali Babad dan Sejarah
Lampung menyebutkan dalam sajak berdialek Komering Minanga “Adat Lembaga sai tipakaisa buasal jak
Belasa Kepampang, sajaman rik Tanoh Pagaruyung Pemerintahan Bundo Kandung,
cakak di Gunung Pesagi rogoh di Sekala Bekhak, sangon kon turun temurun jak
Ninik Puyang paija, Cambai Urai tiusung dilom adat pusako” terjemahannya
berarti “ Adat Lembaga yang digunakan ini berasal dari Belasa Kepampang [Nangka
Bercabang], sejaman dengan Ranah Pagaruyung Pemerintahan Bundo Kandung, naik di
Gunung Pesagi turun di Sekala Bekhak, memang sudah turun temurun dari Nenek
Moyang dahulu, Sirih Pinang dibawa dalam Adat Pusaka, kalau tidak pandai tata
tertib tanda tidak berbangsa”.
Lawrence
Palmer Briggs dalam The Origin Of
Syailendra Dinasty Journal of American Oriental Society Vol 70, 1950
Lawrence menyatakan bahwa “Sebelum tahun 683 Masehi Ibu Negeri Sriwijaya
terletak didaerah pegunungan agak jauh dari Palembang, tempat itu dipayungi
oleh dua Gunung dan dilatari oleh sebuah Danau” jelas bahwa yang dimaksud oleh
Lawrence adalah Gunung Pesagi dan Gunung Seminung, sementara Danau yang
dimaksud adalah Danau Ranau. Setelah perpindahan dari Sekala Bekhak, Sriwijaya
setidaknya tiga kali berpindah Ibu Negeri yaitu Minanga Komering, Bukit
Siguntang Palembang dan Dharmasraya Jambi. Namun demikian para Sejarawan ada
yang berpendapat bahwa Pathani di Selatan Thailand adalah Ibu Negeri terakhir
Sriwijaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar