Oleh Diandra Natakembahang
Dimuat di Lampung Post Minggu 18 Desember 2012 dengan tajuk Meluruskan
Sejarah Gamolan
Menilik Gamolan sebagai sebuah
instrumen musik tidak dapat dipisahkan dari perjalanan panjang Peradaban Sekala
Bekhak sebagai salah satu produk budaya dari Peradaban Sekala Bekhak Kuno.
Gamolan sebagai sebuah instrumen musik telah menyertai Peradaban Sekala Bekhak
sampai saat ini dalam aspek Seni dan Tradisi. Gamolan Lampung telah diteliti
oleh Prof Margaret J Kartomi dan dicantumkan dalam bukunya “Musical Instruments of Indonesia”
yang diterbitkan oleh Indonesian Art Society Association With The Department of
Music Monash University, 1985. Prof Margaret J Kartomi adalah seorang Profesor
Musik dari Monash University Australia yang telah menggeluti musik Gamelan
selama lebih dari 30 tahun, Ia datang ke Lampung Barat medio 1982. Dalam
bukunya Prof Margaret menyebutkan bahwa Gamolan berasal dari Liwa daerah
pegunungan dibagian barat Lampung, “A Gamolan
origin from Liwa in the montainous nortwest area of Lampung”.
Hipotesa yang menyatakan bahwa
seperangkat Orkestra Gamelan Jawa adalah berasal dan merupakan pengembangan dan
perkembangan dari Gamolan Lampung juga sangat kuat dan mempunyai alur yang jelas.
Setidaknya ada tiga hal yang menguatkan hipotesa ini, yang pertama adalah bahwa
hal yang relatif sederhana adalah merupakan Peradaban awal dan adalah permulaan
dari pengembangan hal yang lebih rumit dan kompleks [H. Stewart], yang kedua
secara etimologi dalam konteks nama relatif tidak berubah dari Gamolan
[Lampung] menjadi Gamelan [Jawa], yang ketiga Gamolan Lampung dibawa ke Pulau
Jawa dan bermetamorfosa sedemikian rupa menjadi seperangkat Orkestra Gamelan
Jawa, Gamolan Lampung dibawa kepulau Jawa saat Sriwijaya menguasai Nusantara
termasuk Jawa. Gamolan Lampung terpahat dalam relief di Candi Borobudur [Abad
ke 8 M], Candi Borobudur sendiri dibangun oleh Dinasti Syailendra Sriwijaya,
sekelompok orang yang membuat Candi Borobudur
juga adalah orang Lampung [Hasyimkan, 2011].
Sriwijaya sebagai sebuah Kerajaan
Maritim terbesar diAsia Tenggara mempunyai perjalanan Sejarah yang panjang dan
pertautan yang sangat erat dengan Sekala Bekhak Kuno. Kerajaan Sriwijaya
didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jaya Naga seorang Raja Budhist dari Ranau Sekala
Bekhak, Pendiri Sriwijaya ini dijuluki Syailendravarmsa atau Raja Pegunungan,
hal ini didukung oleh pendapat para ahli dan Sejarawan sebagaimana yang
diungkapkan oleh Lawrence Palmer Briggs dalam “The Origin of Syailendra Dinasty” Journal of American Oriental
Society Vol 70, 1950, Lawrence
menyatakan bahwa “Sebelum Tahun 683 Masehi Ibu Negeri Sriwijaya terletak
didaerah pegunungan agak jauh dari Palembang, tempat itu dipayungi oleh dua
Gunung dan dilatari oleh sebuah Danau. Itulah sebabnya Syailendra dan
Keluarganya disebut Raja Pegunungan”, jelas bahwa dua Gunung yang dimaksud oleh
Lawrence adalah
Gunung Pesagi dan Gunung Seminung, sementara Danau yang dimaksud adalah Danau
Ranau. Setelah perpindahan dari Sekala Bekhak, Sriwijaya setidaknya tiga kali
berpindah Ibu Negeri yaitu Minanga Komering, Palembang dan Darmasraya Jambi,
namun demikian para Sejarawan juga ada yang berpendapat bahwa Patthani
diselatan Thailand adalah Ibu Negeri Terakhir Sriwijaya.
Secara etimologi Gamolan berasal dari
kata Gimol yang artinya Gemuruh atau
Getar yang berasal dari suara bambu dan menjadi Gamolan yang artinya Bergemuruhan atau Bergetaran, sementara Begamol artinya Berkumpul. Gamolan
memiliki tangga nada Lampung yaitu Sai, Khujai, Khawa, Khitu, Khop, Kayu/1 Do,
2 Re, 3 Mi, 5 Sol, 6 La, 7 Si [Wirda
Puspanegara, Paksi Bejalan Di Way Sekala Bekhak]. Gamolan pada awalnya
merupakan instrumen tunggal yang konon dimainkan dan yang menemani seorang Mekhanai Tuha atau Bujang Lapuk, yang
menetak Pekhing Mati Temeggi atau
tunggul bambu tua tegak yang sudah lama mati. Ada beberapa Tabuhan Dasar
Gamolan yaitu Tabuh Nyambai Agung, Tabuh Sekeli, Tabuh Jakhang, Tabuh Tekhai
Angin, Tabuh Alau Alau Kembahang, Tabuh Tari dan Tabuh Hiwang [Syapril Yamin,
Paksi Bejalan Di Way Sekala Bekhak].
Gamolan yang merupakan instrumen
xilophone yang berasal dari Sekala Bekhak ini, dideskripsikan oleh Prof
Margaret J Kartomi dalam “Musical
Instruments of Indonesia” sebagai berikut, Gamolan terdiri dari delapan
lempengan bambu dan memiliki kisaran nada lebih dari satu oktaf, lempengan
bambu tersebut diikat secara bersambung dengan tali rotan yang disusupkan
melalui sebuah lubang yang ada disetiap lempengan dan disimpul dibagian teratas
lempeng, penyangga yang tergantung bebas diatas wadah kayu memberikan resonansi
ketika lempeng bambunya dipukul oleh sepasang tongkat kayu, Gamolan memiliki
tangga nada 1 2 3 5 6 7, dua orang pemain duduk dibelakang alat musik ini salah
satu dari mereka memimpin [Begamol] memainkan pola pola melodis pada enam
lempeng, dan yang satunya [Gelitak] mengikutinya pada dua lempeng
sisanya, lempeng lempeng pada Gamolan distem dengan cara menyerut punggung
bambu agar berbentuk cekung, Gamolan dimainkan bersamasama dengan sepasang gong
[Tala], drum yang kedua ujungnya bisa
dipukul [Gindang] dan sepasang simbal
kuningan [Rujih].
Pergeseran istilah instrumen musik ini
dari Gamolan menjadi Cetik, konon karena tampilan suara yang dihasilkan oleh
Gamolan sehingga akhirnya Gamolan juga dijuluki sebagai Cetik. Pergeseran
istilah ini terjadi pada sekitar medio tahun 90an, demikianlah penyebutan
Gamolan menjadi Cetik akhirnya menjadi lumrah dan menjadi sebutan yang umum
bagi Gamolan bahkan dalam penulisan sekalipun seperti dalam penulisan Buku
Pelajaran Muatan Lokal untuk Provinsi Lampung, namun demikian beberapa Peneliti
dari Taman Budaya Provinsi Lampung menyebut instrumen musik ini sebagai
Kulintang. Demikianlah dinamika Gamolan dalam istilah dan penyebutan, karenanya
Penulis sepakat untuk kembali menyebut Gamolan, bagi instrumen musik ini karena
terkait dengan sejarah panjang serta fungsi dan peranan Gamolan dalam tradisi
Masyarakat Adat Sekala Bekhak sebagai origin dari Gamolan Lampung.
Penulis agak kaget manakala mengetahui
bahwa Way Kanan juga adalah daerah asal dari Gamolan, walaupun di Lampung,
Gamolan sebagai instrumen musik juga digunakan sebagai Piranti Adat di Semaka
dan Way Kanan. Belum jelas seperti apa tepatnya informasi yang menyatakan bahwa
Way Kanan juga merupakan origin dari Gamolan Pekhing ini, namun sepertinya
alasan politis dan kepentingan lebih
berperan disini. Walaupun sebagian besar Etnis Lampung dari berbagai Buway dan
Marga dari setiap Konfederasi Adat memiliki Tambo Sejarahnya masing masing dan mengakui
bahwa Puyang Ulun Lampung berasal dari dataran tinggi Sekala Bekhak dikaki
Gunung Pesagi. Namun demikian tidak ada “Origin Bersama” dari sebuah Produk
Kebudayaan, Keris misalnya walaupun
telah menjadi salah satu Produk Kebudayaan besar Nusantara dan telah menjadi
Produk Budaya dan Tradisi bukan saja Jawa tapi juga Bali, Sasak, Sunda, Bugis
bahkan Melayu namun tidak dapat dipungkiri bahwa Keris adalah produk dari
Kebudayaan Jawa yang merupakan daerah originnya. Demikianlah apapun dan
bagaimanapun dinamika dari sebuah Kebudayaan, namun Sejarah dan Istilah harus
diluruskan karena berkaitan dengan Tradisi, Falsafah dan perjalanan panjang
Sejarah dan Peradaban dari sebuah Suku Bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar